Membahas tentang wanita, pasti tak lepas juga dari pembahasan seorang pria. Dimana keduanya memang diciptakan untuk berinteraksi dan saling melengkapi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hujarat ayat 13 :

يآايٌّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّ أُنْثَى وَ جَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّ قَبَآءِلَ لِتَعَارَفُوْا (الاية)

“Hai manusia! Sungguh, Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki dan   perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”(QS.Al-Hujarat{49}:13)

Namu, pada akhir-akhir ini, seringkali terjadi pada sebagian besar wanita, terutama wanita yang memiliki sikap Hedonisme yang tinggi dalam dirinya. Tak jarang, dalam memilih pasangan para wanita cenderung lebih condong pada dua segi dari pasangannya, yakni paras dan ekonominya. Seperti kalimat yang sering kita dengar “gak good looking minimal good rekening” atau sebaliknya. Padahal yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi seorang wanita dalam memilih pasangan adalah agama dari orang yang akan menemani dan menjadi imamnya kelak, agar bisa memberi arahan, jalan, dan tujuan yang benar baginya.

Sehingga, kebanyakan wanita menuntut pasangannya untuk “begini dan begitu” mengikuti kehendaknya, terutama dalam segi fisik dan ekonominya. Bahkan tak jarang wanita yang memberatkan pasangannya dalam mahar yang akan diberikan untuknya. Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dijelaskan:

اَعْظَمُ النِّسآءِ بَرَكَةً اَيْسَرُهُنَّ مَؤُوْنَةً ( رواه احمد عن عاءشة )

“Paling besarnya barokah diantara para wanita adalah mereka (wanita) yang paling mudah biayanya (maharnya)”

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang pria pada wanita untuk dapat menguasai badannya, namun tidak masuk pada syarat sah atau rukun nikah sendiri.

Mahar yang akan diberikan pada calon istri hendaknya memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agama terlebih dahulu. Terkait dengan kadar mahar, agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu juga jumlah maksimum dari maskawin. Bahkan, sebagaimana yang terdapat dalam sabda nabi:

تَزَوَّجْ وَلوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ ( رواه البخاري)

“Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi”

Para ulama berpendapat bahwa sabda nabi diatas adalah dalil bahwa tidak ada batas terendah untuk maskawin. Karena, jika memang ada, pastilah nabi menjelaskannya. Berbicara tentang jumlah maksimum dan minimum maskawin, apakah ada batasan? Tentunya tidak, karena agama kita sendiri tidak memberikan batasan itu.

Namun, ketika ada seorang wanita yang “meninggikan tarif” maharnya, bagaimana? Tentunya tak ada masalah, karena mengenai ukuran mahar tersebut memberatkan atau tidak sangat bersifat subjektif dan kondisional, artinya dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suaminya. Hanya saja alangkah baiknya dan lebih barokah ketika seorang wanita meminta mahar yang mudah dan tidak memberatkan pada calon suaminya baik dzhohir maupun batin, sebagaimana sabda nabi yang tercantum diatas.

Selain itu hal tersebut juga menunjukkan ciri-ciri sifat qanaah yang ada pada diri sang wanita. Dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Adabul Islam fi Nidzam al-Usrah bahwa paling baiknya wanita ialah yang memiliki sifat qanaah, memiliki akhlaq mulia, dan pandai mengelola rezeki yang sedikit sehingga mencukupi untuk keluarganya.

Adanya sifat qanaah ini akan memakmurkan rumah tangga keduanya, menciptakan rasa cinta antara kedua belah pihak. Mengapa demikian?

Karena ketika seorang istri telah memiliki sifat qanaah dalam dirinya, dia tidak akan pernah menuntut suaminya, bahkan dia akan dengan ikhlas menerima nafkah yang telah diberikan oleh suaminya tanpa melihat nominal bahkan kadarnya. Tentunya hal ini akan melapangkan hati suami dan menyejukan hatinya, dan berpahala bagi sang istri.

Namun, bagaimana jika terjadi sebaliknya? Sang istri tidak memiliki sifat qanaah? selalu menuntut? Bahkan tidak taat?.

Agama mengajarkan bagi para pria yang hendak menasihati wanita, hendaknya dia berhati-hati dan tidak berlebihan. Oleh karena itu, ketika hendak meluruskannya (menasihati) maka ia akan patah(sakit hati), dan ketika tetap membiarkannya maka ia akan tetap bengkok (menyimpang), sebagaimana lanjutan hadis tersebut.

 

Author : Amania Riskiyani R.. Mahasantri Semester 2 Ma’had Aly Nurul Jadid

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?