Telah umum diketahui bahwa talak adalah putusnya suatu ikatan pernikahan akibat ucapan yang secara jelas atau sindiran menyiratkan terjadinya talak. Ada dua jenis talak, yaitu talak raj’ie dan talak bain, dan setiap jenis memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

Dalam kitab-kitab yang diakui keabsahannya, talak diartikan sebagai “memutus ikatan.” Dengan terjadinya talak, suami istri tidak dapat melanjutkan hubungan mereka kecuali jika suami melakukan ruju’ (kembali pada istri). Pertanyaannya, mengapa dalam talak raj’ie, suami masih harus memberi nafkah pada istri, padahal talak seharusnya memutus hubungan mereka?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami makna talak. Di dalam kitab Fathul Mu’in halaman 112, talak terminologis adalah “memutus akad pernikahan.” Dalam kitab syarahnya, I’anatut Tholibin juz 4 halaman 3, dijelaskan bahwa makna حل (terlepas) dalam talak dapat memutus semua aspek hubungan suami istri, termasuk hak dan kewajiban.

(قوله وشرعا حل الخ) المراد بالحل ازالة العلقة التي بين الزوجين

Artinya: “yang dimaksud lafadz حل (terlepas) ialah hilangnya hubungan antara suami istri.”

Jadi, yang dimaksud dengan lafadz حل disini, ialah hilangnya hubungan yang ada diantara suami istri, diantaranya saling bermesra, bersenang-senang, dan lain sebagainya termasuk hak dan kewajiban. Namun, terkecuali dari hak dan kewajiban di dalam talak raj’ie. Dalam talak raj’ie, suami tetap memiliki sebuah tanggungan berupa kewajiban memberi nafkah terhadap istri yang tertalak raj’ie.

Hal ini terjadi karena perempuan yang tertalak raj’ie masih memiliki status istri. Suami tetap harus memenuhi nafkah selama istri dalam masa iddah, yang merupakan konsekuensi dari talak yang membuat istri harus menjalani iddah tanpa boleh keluar rumah atau berhias. Oleh karena itu, suami wajib memberikan nafkah.

Mengenai hikmah di balik talak raj’ie yang mengharuskan suami tetap memenuhi kewajibannya, yaitu memberi nafkah dan tempat tinggal, jawabannya tentu ada. Hikmah tersebut melibatkan harapan akan munculnya rasa ulfah (kasih sayang) kembali antara suami istri selama masa iddah. Jika rasa ulfah tumbuh, ada potensi besar untuk bersatunya kembali tanpa perlu akad nikah baru.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suami yang melakukan talak raj’ie tetap berkewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal pada istri selama masa iddah. Hal ini karena perempuan yang tertalak raj’ie memiliki status yang sama seperti istri. Istri yang tertalak raj’ie, selain wajib menjalani masa iddah, juga berhak mendapatkan nafkah. Hikmah di balik talak raj’ie adalah mendorong timbulnya rasa ulfah atau kasih sayang, yang dapat membuka peluang untuk ruju’ atau rekonsiliasi antara dua insan yang pernah terputus.

 

Penulis: Safilatul Khoirot (Mahasantri Aktif Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?