Sayup-sayup terdengar suara dari ruang TV, “tadi malam ngapain, Pak Dodon kesini, Pak?” “Ngasih uang, Bu.” “Uang apa, Pak? Kan Pak Dodon gak pernah ngutang ke kita.” “Bukan buat bayar utang, Bu, itu uang dari tim suksesnya Pak Bambang yang mau nyalon presiden entar lagi nih.” “Loh, kalo bapak udah nerima uangnya berarti bapak pasti milih Pak Bambang dong?” “Nggak juga, Bu, penting kita nerima uang aja, masalah pilihan ya harus sesuai hati nurani.” “Emang boleh, Pak, kayak gitu?” Pagi-pagi buta begini otakku tanpa sadar dipaksa untuk memikirkan pertanyaan ibu.

***

Berangkat dari cerita di atas, timbul satu pertanyaan: bagaimana hukumnya memberi dan menerima uang sogok? Bagi-bagi uang, janji, makan siang gratis, dan seterusnya di musim pemilu bukan lagi menjadi suatu rahasia atau hal yang dianggap memalukan; malah, hal ini justru seperti ajang lomba bagi calon-calon pemimpin atau wakil rakyat. Seakan-akan siapa yang membeli suara rakyat dengan harga paling mahal, dialah yang akan mendapat suara terbanyak dari rakyat.

Oleh sebab itu, untuk maju mencalonkan diri sebagai caleg, cagub, capres, dan seterusnya tidaklah murah. Mereka seperti sudah tertuntut oleh tradisi untuk melakukan suap kepada pihak penyelenggara maupun rakyat sebagai pemegang hak pilih.

Hal ini pula yang menjadi “motivasi” bagi mereka untuk korupsi, yang mungkin awalnya dalam rangka mengembalikan modal, tetapi ternyata keterusan demi pemenuhan gaya hidup. Sehingga apa yang seharusnya dalam periode jabatan mereka gunakan untuk memenuhi janji kepada rakyat, memperjuangkan hak, dan kepentingan masyarakat luas, justru terbengkalai karena sibuk menggemukkan rekening pribadi.

Lalu, bagaimana kaca mata Islam memandang hal tersebut? Dalam QS Al-Baqarah:188, Allah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Syaikh Nawawi al-Bantani dalam at-Tafsir al-Munir li Muallim al-Tanzil menerangkan bahwa ayat tersebut menunjukkan larangan bagi umat Muslim untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat.

Dijelaskan juga dalam kitab al-Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaityah:

وَيَحْرُمُ طَلَبُ الرِّشْوَةِ ، وَبَذْلُهَا ، وَقَبُولُهَا ، كَمَا يَحْرُمُ عَمَل الْوَسِيطِ بَيْنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Meminta, memberi, dan menerima suap hukumnya haram, begitupun pekerjaan orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima suap.

Dari sini, dapat kita pahami bahwa apapun yang berkaitan dengan suap hukumnya haram. Bahkan, menjadi perantara antara pemberi dan penerima suap juga haram. Jadi, tidak ada pembenaran dalam perbuatan tersebut, karena jelas akibat buruk yang akan ditimbulkan dari praktik ini. Dengan suap, seseorang bisa saja mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan orang lain bisa saja kehilangan hak yang seharusnya ia terima. Dapat disimpulkan bahwa praktik suap/money politik adalah melanggar syariat dan hal ini memiliki konsekuensi hukum baik di hadapan Tuhan maupun undang-undang.

 

*Happy Nur IA, Mahasantri Semester 2 Mahad Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?