Sebelumnya telah dibahas tentang lenyapnya perbudakan dan imbasnya dalam ajaran atau syariat Islam. Sedangkan di dalam kitab al-ulama al-mujaddidun sendiri, tema tersebut belum rampung dibahas. Pada pertemuan ke 7, pembahasan berlanjut.
Mbah Moen menerangkan secara terang-terangan bahwa hukum-hukum dalam al-Qur’an atau syariat Islam yang tidak mampu kita amalkan itu tidak boleh diganti atau diubah dari sisi kita sendiri, lebih-lebih mendakwa adanya ijtihad atau istinbath.
Hanya saja kita wajib mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang mampu kita amalkan sesuai batas-batas yang bisa kita jangkau. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. sebagaimana berikut :
لَايُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعُهَا
Artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan batas kemampuannya”. (QS. al-Baqarah : 286)
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَا مَا اتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya, “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. al-Baqarah : 286).
Pada pembahasan ini pula, Mbah Moen memberikan catatan kaki bahwasanya perkara-perkara yang disyariatkan Islam itu ada dua macam :
Pertama, syariat yang berdiri atas asas yang mutlak berupa hukum kebolehan, wajib atau sunah yang berlaku bagi semua manusia. Dari setiap masa ke masa. Tidak ada kewenangan bagi pemimpin atau bahkan nabi sekalipun dapat mengubah ketentuan hukum tersebut atau menentukan suatu hukum yang berbeda, dari sebagian ke sebagian yang lain. Contoh dari pembagian hukum ini banyak sekali sebagaimana yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan hadits.
Kedua, syariat yang berdiri atas dasar pemberian syari’ (Allah) untuk memutuskan hukum/kewenangan tertentu terhadap suatu persoalan yang di dalam pandangannya itu baik dan maslahat kepada umat Islam secara keseluruhan. Ketentuan ini dinamakan dengan hak otoritatif dari suatu pemimpin.
Suatu keputusan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemimpin tentu berbeda-beda dampaknya, sesuai dengan ruang lingkup masyarakat. Dari masa ke masa atau dari suatu negeri ke negeri yang lain. Contoh dari pembagian syariat yang ke dua ini adalah pengumuman adanya perang dan perdamaian.
*Alfin Haidar Ali, Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid.