Tadi malam, pengajian kitab al-ulama al-mujaddidun membahas -secara garis besar- tentang Islam: antara yang tetap dan dinamis. Ajaran-ajarannya yang bersifat berkembang mengikuti arus dan dinamika zaman. Juga, ada ajaran agama Islam yang sifatnya tetap dan tidak berubah.
Para ulama menjadi penentu dan mengambil peran penting soal ajaran-ajaran Islam ini. “Mau dibawa ke mana ?”. Para ulama selaku para pewaris para nabi dalam ilmu dan amaliahnya, mendapat tantangan yang luar biasa setiap zamannya agar Islam tidak kaku dan shalih li kullil zaman wa makan (layak di setiap masa dan tempat).
Ketika agama Islam berdialek dengan negeri-negeri yang notabene rasional, seperti Yunani dan Singkretis, maka Islam membutuhkan dalil-dalil aqli supaya ajaran Islam dapat diterima ‘masyarakat rasional’ tersebut. Gus Fayyadl menyebutnya dengan “penemuan dalil aqli”.
Sehingga tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam (ketetapan dari pencipta alam/Allah) itu sesuai dengan akal manusia. Dalam artian, bukan hanya akal orang muslim saja.
Contoh ajaran yang tidak berubah adalah keharaman riba. Mau bagaimanapun dan dalam kondisi apapun, riba itu hukumnya haram. Tidak boleh dilakukan. Kita pinjam uang dan ketika akad telah disepakati bahwa kita wajib mengembalikan hutang tersebut melebih nominal awal, justru bertambah, inilah yang tidak diperbolehkan. Syariat Islam melarangnya. Jadi meskipun akadnya dilaksanakan secara sukarela, tapi secara syariat tidak dibenarkan.
Sedangkan ajaran syariat Islam yang berubah-ubah, menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan manusia sesuai dengan lingkungan masing-masing adalah ajaran-ajaran yang membuka ruang lingkup perbedaan diantara ulama.
Contoh paling simpelnya adalah bacaan dzikir yang tidak ditentukan secara pasti batasannya dalam syariat. Umat Islam bisa ‘berkreasi’ membaca bacaan dzikir sesuai dengan kebutuhan, kondisi serta keadaanya. Tentunya tidak melanggar ajaran yang dilarang untuk membaca dzikir.
Contoh syariat tetap dan tidak tetap, sebagaimana penjelasan tadi malam adalah tentang jual beli air mineral.
Dalam hadits telah disebutkan,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Lalu, bagaimana dengan jual beli air minum dalam kemasan (AMDK) sedangkan jual beli air itu diharamkan.
Menurut Gus Fayyadl, kalau jual beli air secara mutlak itu hukumnya haram berdasarkan hadits tersebut. Sedangkan kalau jual beli ‘jasa’ pengemasan serta wadah/botol air tersebut, maka hukumnya halal. Sedangkan sighot (bentuk kata), ‘beli air’ secara mutlak itu didasarkan pada ‘urf (kebiasaan) sedangkan yang dimaksud adalah jual beli jasa pengemasan air tersebut.
Nah, terkait hukum jual beli AMDK ini membuka ruang lingkup perbedaan. Para ulama bisa berbeda pendapat menyikapi hal ini. Demikianlah, ajaran Islam itu sesuai dengan keadaan dan kondisi manusia. Tentunya, untuk mengetahui hal ini kita perlu pada ahlinya, pada ulama.
Catatan ngaji part. 3. Paiton, 4 Maret 2022.