Siapakah? Beliau, adalah seorang tokoh yang terlahir di salah satu daerah di Baghdad, nama beliau adalah sebuah nisbat dari desa yang bernama thufi. Lahir pada tahun 657 H dan wafat pada tahun 716 H dengan nama yang sangat indah Abu Robi’ Sulaiman bin Abdil Qowiy bin Abdil Karim ibn Sa’iid atas madzhab Hambali.
Najmuddin At-thufi, Tokoh yang sangat masyhur dengan teori maslahatnya yang sangat kontroversial pada zamannya hingga teori tersebut selalu dikenang di kalangan para akademisi kitab-kitab salaf dan para pecinta Ushul fiqih.
Berbagai argumentasi yang diungkapkan oleh At-Thufi berkenaan dengan maslahat sangatlah rasional. At-Thufi mengatakan bahwa ketika ada maslahat yang itu bertolak belakang dengan Nash dan Ijma’ maka yang dimenangkan adalah menjaga sebuah kemaslahatan. Pemikiran ini yang kemudian menjadi buming dikalangan para tokoh fiqh maupun ushul fiqh dimasanya hingga saat ini, mengapa tidak? Mayoritas Ulama’ madzhab seperti Syafi’iyah dan Hanabilah mereka lebih mendahulukan Nash dari pada maslahat ketika keduanya terjadi kontradiksi. Sedangkan Hanafiyyah dan Malikiyah begitu pula Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Amidi memberikan syarat-syarat yang sangat ketat untuk mendahulukan maslahat dari pada nash dan ijma’ sebagai contoh yaitu Kemaslahatan boleh didahulukan ketika bertentangan dengan nash yang sifatnya dzonni seperti hadits ahad dan sifat dari maslahat tersebut adalah bersifat universal, darurat, dan qoth’i (pasti) bukan hanya praduga semata.
At-Thufi, meskipun beliau bermadzhab Hambali, akan tetapi dalam hal ini beliau berani tampil beda dengan shohibul madzhabnya sendiri yaitu Al-Imam Hambali dan mayoritas ulama’ Hanabilah. Beliau berpendapat bahwa dalam permasalahan muamalah, maslahat boleh didahulukan dari pada Nash dan Ijma’, baik Nash tersebut bersifat Qoth’i ataupun Dzonni dengan metode Takhsis (mengkhususkan) dan Bayan (penjelasan).
Seorang At-Thufi tidak hanya semata-mata mendahulukan maslahat dari pada Nash dan Ijma’ tanpa bertendensi, tapi banyak sekali alasan-alasan yang dikemukakan mengapa beliau lebih mendahulukan maslahat daripada Nash dan Ijma’, antara lain: pertama, Bahwa orang yang mengingkari adanya ijma’ seperti Syi’ah dan Nidzom Al-Mu’tazili ternyata mereka juga sepakat terhadap menjaga maslahat, maka adapun maslahat itu adalah kesepakatan sedangkan Ijma’ adalah tempat adanya perbedaan dan berpegang teguh terhadap perkara yang telah disepakati atasnya ialah lebih utama dari pada berpegang teguh terhadap sesuatu yang masih diperselisihkan legalitasnya. Kedua, Nushus (Jama’ dari kata “nash) saling bertentangan. At-Thufi berdalil atas didahulukannya Maslahat terhadap Nash karena Nash saling bertentangan, maka hal semacam inilah yang dapat menjadi bumerang adanya perbedaan dan perselisihan yang tercela dalam hukum-hukum syari’at, berbanding terbalik dengan Maslahat, bahwa sesungguhnya menjaga Maslahat adalah perkara yang sifatnya hakiki dalam esensinya sendiri dan tidak diperselisihkan keberadaannya, maka inilah sebab terjadinya kesepakan yang dituntut dalam syari’at. Kesimpulannya, bahwa mengikuti perkara yang hakiki ialah lebih utama.
Demikianlah segelintir pemaparan Paradoks (pernyataan yang seolah-olah bertertangan, tapi kenyataanya mengandung kebenaran) Maslahat Najmuddin At-Thufi yang penulis kutip dari Ushul Fiqh Islami karangan Syekh Wahbah Zuhaili dan Risalah Fi Ri’ayah Al-Maslahah Imam At-Thufi.
*Alfan Jamil S.E
Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid