Aku diberitahu orang dewasa kalau Indonesia merdeka melawan penjajahan Belanda karena
perlawanan pribumi menggunakan bambu runcing. Bagi saya itu adalah “fiksi” dan termasuk
hal yang dibesar-besarkan. Supaya masyarakat Indonesia “ngeri” dengan tangis dan darah
para pejuang yang mati-matian membela dan memperjuangkan negera ini merdeka. Padahal,
menurut penulis, bangsa ini merdeka setelah diberlakukannya politik etis, lalu terdidiklah
bangsa terjajah. Sehingga muncullah tokoh-tokoh pendidikan yang mampu menggerakkan
masa secara masif dalam hal berpikir dan aksi nyata. Sebab, yang saya yakini sampai saat
ini, peradaban besar lahir dari orang-orang kaya literasi.
Di Surabaya, dengan ketelatenan dan tangan dingin H.O.S Cokroaminoto, lahirlah tiga tokoh
besar dari beberapa murid yang didiknya cukup mencuat namanya, yaitu Soekarno. Sang
bapak proklamator, pendiri gerakan marhaenisme, serta pemikir yang memadukan
pemikiran besar Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme (Nasakom). Kedua ada
Semaoen, tokoh pergerakan kiri Indonesia. dimana PKI sebagai basis dansalah satu bukti
nyata gerakannya yang mampu menggebrak Indonesia dan semua mata tertuju pada
gerakan itu. Ketiga adalah SM Kartosoewiryo, seorang aktivis Sarikat Islam (SI).
***
Konon katanya, masa depan Nurul Jadid pernah menjadi diskusus antara K.H. Zani Mun’im
(Pendiri NJ) dengan KH. Hasan Abdul Wafi (menantu Kh. Zaini). Kh. Hasan Abdul Wafi
mengusulkan agar Nurul Jadi nantinya adalah pesantren bercorak salaf, dengan kitab kuning
sebagai ikonnnya. Akan tetapi, hal ini tidak disetujui oleh Kh. Zaini. Beliau beralasan, seiring
dengan pesatnya perkembangan zaman, Nurul Jadid harus Up To Date. Mempertahankan
tradisi salaf yang baik dan mengkombinasikan dengan perkembangan zaman yang lebih
baik lagi. (Al-mukhafadhotu Ala Al-Qodim As-Shalih, Wa Al-akhdu bi al-Jadidi Al-ashlah).
Tahun 2016/201 7 merupakan tahun pelajaran yang saya rasakan pertama kali di Nurul Jadid,
tepatnya di Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ) Program Keagamaan (PK). Banyak hal
baru yang saya temui dan dapatkan disini. Salah satunya adalah mengenal novel. Sebuah
buku -terlepas dari fakta/tidaknya- adalah bacaan yang menarik, ringan bahasanya, dan
menyegarkan.
Di Nurul Jadid pula, aku mengenal nama-nama tokoh besar. Para filsuf,
penyair, kyai-masyayikh, revolusioner, dan masih banyak yang lainnya. Diantara nama-nama
besar itu, karya mereka sebagian kudapati di perpustakaan asrama MANJ-PK. Dan salah
satu yang fenomenal adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sampai saat ini, baru dua
karyanya yang telah kubaca, yaitu Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Pram merupakan penulis yang memiliki cita-cita besar bagi Indonesia dan ia menulis Bumi
Manusia saat masih berstatus tahanan politik. Konon, ia menulis karya itu dengan cara
menceritakannya terlebih dahulu pada sesama teman penghuni sel tahanan di pulau Buru
selama dua tahun. Lalu pada tahun 1980 buku itu diterbitkan dan setahun kemudian muncul
larangan beredar atas perintah jaksa agung.
Saya heran, kenapa pemerintah saat itu melakukan tindakan seburuk itu ?, dan kenapa orang
harus dipentungi dan dipenjara gara-gara membaca dan menyimpan buku-buku Pram.
Padahal, para koruptor tidak pernah dipentungi, atau seandainya dipenjarakan seiring
dengan berjalannya waktu hukuman para koruptor berangsur lebih ringan daripada hukuman
yang diterima orang yang membaca dan menyimpan buku-buku pram.
Orde baru adalah masa pemerintahan yang takut pada pemikiran, mengekalkan kebencian,
dan menyimpan paranoia. Seandainya pemerintah tidak menyimpan penyakit ini mungkin
para pemuda dianjurkan membaca karya-karya pram. Bumi Manusia mengisahkan kejadian
pada tahun 1898 sampai 1918 dengan Minke sebagai tokoh utamanya. Seorang pribumi
yang bersekolah di HBS, sebuah sekolah untuk anak keturunan Eropa. Lalu, ia menentang
perlakuan sewenang-wenang penjajah terhadap bangsanya. Ia juga memberontak terhadap
budaya feodal dalam tradisi jawa yang dianggap sebagai bentuk membeda-bedakan derajat
manusia.
Selain tokoh Minke, ada pula tokoh yang ditonjolkan oleh Pram yaitu Nyai Ontosoroh, yang
ketika muda bernama Sanikem. Sebutan “nyai” ia dapatkan karena menjadi gundik atau istri
simpanan orang Belanda bernama tuan Mallema. Hal ini menjadikan ia mendapat perlakuan
tidak manusia disana. Sadar akan posisinya, ia kemudian berjuang keras untuk
mendapatkan kedudukan dan hak yang selayaknya dengan belajar dengan keras. Ia meyakini,
dengan belajar ia dapat mengentaskan kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Tokoh
Minke banyak belajar dari Nyai Ontosoroh tentang perjuangan dan keteguhan dalam
bersikap. Karenanya, ia menikahi Annelies, seorang putri Nyai Ontosoroh dan Tuan Mallema.
Perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh digambarkan dalam perkara hak untuk mengasuh
Annelies dari tuan Mallema. Perjuangan mereka kemudian dikalahkan oleh keputusan
pengadilan yang tidak menjujung rasa keadilan. Tuan Mallema menang dan Annelies dibawa
pergi ke Belanda. Minke kehilangan kekasinya, dan Nyai Ontosoroh kehilangan putri satu
satunya.
Dalam karyanya itu, Pram ingin menunjukkan bahwa betapa pentingnya memiliki semangat
berjuang dan pentingnya belajar. Ia ingin menunjukkan pada pembaca bahwa dengan
memiliki semangat berjuang dan ilmu pengetahuan orang bisa mengubah nasib. Termasuk
nasib bangsanya. Orde baru telah berakhir, akan tetapi puing-puing bekas runtuhnya orde
baru masih tersisa. Namun, di Nurul Jadid paranoia seperti itu sangat tabu sekali. Karena
dari lima kesadaran santri, kesadaran berilmu menempati posisi ke dua setelah kesadaran
beragama.
Bicara seputar perjuangan, saya jadi ingat dawuh KH. Najiburrahman Wahid saat muroq
(mulang santri) pengajian pagi kala itu. Beliau dawuh, bahwa diharapkan Nurul Jadid ini
nantinya akan mencetak alumni, santri, ataupun muslim pembaharu (mujaddid) yang
menurut sejumlah keterangan dalam seratus tahun sekali, akan selalu muncul pembaharu
(mujaddid) agama islam setelah ajaran islam keruh dan tercampur aduk dengan globalisasi
perkembangan zaman yang sangat maju ini.
Lebih jauh lagi, pendiri sekaligus pengasuh pertama Nurul Jadid, Kh. Zaini Mun’im
sebenarnya sangat menekankan santrinya untuk memiliki spirit perjuangan. Jika kalian ke
SMP-NJ putra, disana terpampang dengan jelas petuah beliau, “saya tidak ridho santri Nurul
Jadid tidak berjuang di masyarakat.”
Pada acara manaqib haul dan harlah Nurul Jadid ke 70 lalu, Ust. Qushairi menerangkan Kh.
Zaini muda memang sangat menjiwai spirit perjuangan. Zaini muda, saat Indonesia belum
merdeka, termasuk salah satu orang yang dicari Belanda karena pergerakannya. Dari
madura beliau hijrah ke Probolinggo karena dikejar-kejar tentara Belanda. Di desa Karang
anyar inilah, beliau kemudian mendapat titipan santri pertama sebanyak dua orang, yaitu
Syaifuddin dan Syafiuddin.
Semenjak itu, motif spirit perjuangan beralih dari gencatan senjata dan menggerakkan masa
ke mengangkat ekonomi masyarakat desa dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perjuangan beliau lalu diteruskan oleh anak dan cucu beliau. Sampai saat ini, diumurnya
yang ke 70 tahun, Nurul Jadid tetap eksis dengan berkisar 9000 santri dan termasuk dalam
sepuluh pesantren maju di Indonesia dalam suatu penelitian.
*Alfin Haidar Ali
Mahasantri Marhalah I’dadiyah.
Bisa dihubungi di alfinhaidar3f@gmail.com.