Bulan ramadhan merupakan sebuah bulan yang sangat cocok untuk melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu, karena di bulan tersebut umat manusia diajak untuk hidup sederhana, beranjak dari kehidupan hedonis; merasakan lapar yang sering dialami oleh orang-orang yang serba kekurangan.

Ngaji pemikiran para ulama terdahulu melalui literatur turats termasuk rutinitas pesantren yang tak kalah pentingnya untuk mengisi aktivitas sehari-sehari selama bulan ramadhan. Dirasa penting, karena tak hanya melatih diri seseorang untuk menahan hawa nafsu disebabkan rasa lapar, lebih dari itu dituntut untuk memahami pemikiran-pemikiran ulama yang tertuang dalam kitab kuning.

Pondok pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo menjadi salah satu dari ribuan pesantren yang selalu mengadakan ngaji ramadhan di setiap tahunnya. Mulai dari ngaji kitab fiqh, tasawwuf hingga hadis. Fan ilmu yang ketiga menjadi pilihan khusus bagi seorang mudir Ma’had Aly Nurul Jadid untuk mengadakan ngaji ramadhan di pesantren, beliau K. Muhammad al-Fayyadl atau akrab disapa dengan Gus Fayyadl.

Gus Fayyadl memilih kitab “Mukhtaru al-Ahadis an-Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiyah” sebuah anggitan dari ulama kenamaan timur tengah, tepatnya Kairo, Mesir, beliau Sayyid Ahmad al-Hasyimi. Di awal sesi, Gus Fayyadl sedikit menjelaskan isi kitab Mukhtaru al-Ahadis yang tak ubahnya seperti karangan Imam Suyuthi yang bertajuk: “al-Jami’ al-Kabir” yang kemudian diringkas menjadi “al-Jami’ as-Shagir”.

Kesamaan antara karangan Sayyid Ahmad dan Imam Suyuthi, terletak pada isi kitab yang berisikan kumpulan hadis Rasulullah SAW dan semacam kamus kitab hadis yang dimulai dari hadis berinisial hamzah hingga ya’. Distingsi antara keduanya terletak pada fokus kumpulan hadis yang tertuang; Imam Suyuthi menghimpun hadis lebih komplit sedangkan Sayyid Ahmad memilih hadis-hadis tertentu yang berkait dengan hikmah-hikmah.

Hadis pertama yang dibaca Gus Fayyadl dalam kitab tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Sahabat Anas bin Malik.

آتِي بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ فَيَقُولُ الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ قَالَ فَأَقُولُ مُحَمَّدٌ قَالَ يَقُولُ بِكَ أُمِرْتُ أَنْ لَا أَفْتَحَ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ

Artinya: “Saya mendatangi pintu surga di hari kiamat, kemudian saya meminta kepada penjaga pintu surga untuk membukakannya, lantas penjaga pintu itu bertanya: kamu siapa?, lalu saya menjawab: Muhammad, spontan si penjaga pintu surga tersebut mengatakan: karenamu aku diperintah untuk tidak membuka pintu surga sebelum kamu memasukinya”. (Mukhtaru al-Ahadis, Hal. 3)

Gus Fayyadl menyoroti jawaban nabi Muhammad ketika ditanya oleh seorang penjaga pintu surga yang tak lain adalah malaikat Ridwan. Jawaban nabi simpel dengan hanya menyebut nama “Muhammad”, tak ada jawaban panjang lebar, tanpa menyebutkan gelar bahwa beliau seorang nabi, rasul bahkan seorang yang bisa memberi syafaat kelak di hari kiamat yang tak ada syafaat kecuali hanya syafaat nabi Muhammad SAW.

Jika dibahasakan dengan bentuk pertanyaan: mengapa nabi Muhammad tidak menjawab dengan menyebutkan identitas beliau? mengapa beliau tidak menjawab: saya/aku seorang nabi/utusan yang bisa memberi syafaat?.

Padahal jelas, bahwa nabi Muhammad satu-satunya nabi yang bisa memberi syafaat kelak di hari kiamat, hal ini bisa dilihat dari kitab shahih muslim yang mengkategorikan hadis di atas ke dalam bab “Nabi Muhammad satu-satunya orang yang bisa memberi syafaat”. (Shahih Muslim, Hal. 130/Juz 1)

Gus Fayyadl memberikan sedikit komentar akan hadis di atas dengan berpijak kepada penjelasan di salah satu syarah kitab “Mukhtaru al-Ahadis an-Nabawiyah yang bertajuk: “Syuruq an-Anwar as-Shomadiyah” karangan salah satu ulama prolifik asal pulau garam, beliau KH. Ahmad Ghazali, salah satu dewan masyayikh PP. Al-Mubarok, Lan-Bulan, Sumenep.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hikmah dari Rasulullah tidak mengatakan “saya/aku” ketika berbicara dengan malaikat Ridwan, namun hanya menyebut nama “Muhammad”, menunjukan sebuah ketawadluan seorang Nabi; tak ada ke-aku-an dalam diri beliau. Penyebutan kata “saya/aku” hanyalah menunjukan sebuah kecongkaan, minimal terbesit sifat ke-aku-an dalam diri seseorang dan hal itu dilakukan pertama kali oleh iblis, ketika tidak mau bersujud kepada nabi Adam, sekalipun Allah memerintahkannya, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an:

قالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (12)

Artinya: “Iblis menjawab (setelah diperintah oleh Allah untuk bersujud kepada Adam): saya/aku lebih baik dari dia (Adam) engkau ciptakan aku dari api sedangkan Adam engkau ciptakan dari tanah” (Q.S. al-A’raf: ayat 12)

Ke-aku-an iblis sangat jelas dalam ayat di atas karena merasa lebih baik dari nabi Adam. Berbanding terbalik dengan nabi Muhammad ketika berbicara dengan malaikat Ridwan dengan hanya menyebut nama “Muhammad”. Hal ini menunjukkan ketawadluan seorang nabi Muhammad, sebagaimana Abu ‘Awanah dalam kitab hadisnya yang mengkategorikan hadis di atas dalam bab “Ketawadluan Nabi”. (Musnad Abi ‘Awanah, Hal. 137/Juz 1)

Selain hanya menyebutkan nama ketika ditanya oleh seseorang akan identitas diri kita, menyebut diri dengan “al-faqir” atau “al-haqir” juga termasuk hal yang diajarkan, serta akhlaq para kiai-kiai pesantren. Hal ini agar tidak ada ke-aku-an dalam diri kita dan tidak merasa lebih baik dari pada orang lain, karena ketika seseorang sudah merasa lebih baik dari pada orang lain, maka sejatinya dia belum dikategorikan baik.[]

*Penulis : Mustain Romli (Musyrif Ma’had Aly Nurul Jadid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?