Tak hanya kebutuhan spiritual seperti ibadah atu lainnya, sebagai manusia kita juga perlu memenuhi kebutuhan jasmani, seperti makan, tempat tinggal dan lain-lain. Namun dalam hal ini, tidak semua orang bisa memenuhi kebutuhan jasmaninya sendiri. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan kewajiban nafkah bagi orang-orang tertentu kepada orang-orang tertentu.
Pembahasan kali ini, Gus Barizi menjelaskan tertang siapa saja sih orang yang wajib dinafkahi ?. Kata “nafkah” dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata anfaqa, yunfiqu, infaqan, nafaqatan. Yang dimaksud infaq berarti al-mashruf wa al-infaq atau biaya belanja, pengeluaran uang, dan biaya hidup. Pembiayaan di sini ditujukan kepada orang yang menjadi tanggungannya.
Dalam kitab sullam at-Taufiq, ada tiga sebab wajibnya nafkah, yaitu sebab hubungan qarabah (keluarga), zaujiyyah (pernikahan) dan milkiyyah (kepemilikan).
Pertama, mengenai nafkah sebab hubungan keluarga bahwasanya orang tua wajib memberikan nafkah pada keturunan. Begitupun sebaliknya. Jadi pada dasarnya seseorang yang sudah dibebani kewajiban nafkah ia diwajibkan memberikan nafkah kepada orang tua dan keturunannya, dengan syarat keduanya itu sudah tidak ada lagi pendapatan karena fisik yang sudah tidak kuat untuk bekerja atau karena suatu keadaan sehingga mereka tidak mempunyai harta yang cukup.
Hal ini sebagai mana yang tertera di dalam al-Qur’an surah Al-Isra ayat 23 :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Artinya : “dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23.
Kedua, nafkah sebab hubungan pernikahan. Gus Barizi menjelaskan kepada para santri, “bahwasanya bagi kalian yang hendak melaksanakan pernikahan, kalian harus menyiapkan mahar untuk calon istri, beserta memberi nafkah setelahnya, bukan cuma siap secara batin saja”.
Jadi di dalam pemaparan beliau sudah jelas bahwasanya diwajibkan bagi seorang suami memberikan nafkah kepada istri sesuai dengan kebutuhannya. Kewajiban di sini bukan hanya ketika di waktu pernikahan masih utuh, akan tetapi walaupun ketika sang istri masih dalam fase tertalak, baik talak roj’i atau ba’in. Apalagi ketika masa talak tersebut sang istri dalam keadaan hamil, maka suami wajib menafkahi istri sampai melahirkan.
Keterangan ini sebagaimana yang tecantum di dalam Q.S. an-Nisaa ayat 34 :
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisaa: 34).
Ketiga, nafkah sebab milkiyyah (kepemilikan). Yang di maksud di dalamnya adalah riqqun (budak) dan binatang ternak (hewan peliharaan). Jadi bagi seorang yang memiliki budak dan binatang ternak, ia diwajibkan untuk memberi nafkah, semisal memberinya makan, minum, pakaian bagi budak dan segala hal yang dibutuhkan.
Oleh : Anisatul ma’rifah (Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid)
Kajian Sullam at-Taufiq malam Sabtu, 31 Maret 2023