Semua hukum syari’at Islam tidak Allah SWT tetapkan melainkan untuk merealisasikan maslahat dan menolak mudlorot bagi seluruh umat Islam. Maslahat sebagai tujuan puncaknya menjadi sebuah tendensi dari disyari’atkannya hukum itu sendiri. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan tiadalah Kami (Allah SWT) mengutus kamu (Muhammad SAW), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(Al-Anbiya’ 107).
Dalam ayat di atas disebutkan kata “rahmat” yang dalam pemahaman kontekstualnya terkandung ma’na menjaga terealisasinya maslahat dan menolak mudlorot. Hal inilah yang di dalam literatur ushul fiqh dikenal dengan istilah maqosid syari’ah.
Term hangat yang hampir tidak ada puncaknya menjadi perbincangan publik adalah media sosial yang dalam perkembangannya dari masa ke masa semakin pesat terutama dalam masa sekarang yang seolah-olah kaca buram terlihat sangat bening.
Dalam sisi lain, media sosial seakan menjadi kebutuhan pokok yang tak dapat ditinggalkan, bahkan orang yang masih buta akan media sosial bisa disebut dengan istilah Gaptek.
Tulisan ini akan memaparkan sedikit tentang hubungan antara kebutuhan akan media sosial dengan konsep sadd adz-dzari’ah, fath adz-dzari’ah yang akhirnya bermuara pada maqoshid syari’ah (tujuan-tujuan syari’at).
Media Sosial
Media sosial dalam perkembangannya seakan menjadi trend atau gaya hidup yang tak dapat dipungkiri. Dua sisi dalam penggunaannya memerlukan pertimbangan yang sangat matang, satu sisi manfaat dan sisi yang lain dapat menimbulkan mudlorot (hal yang membahayakan). Pernyataan sejenis juga dikemukakan oleh Menkominfo Rudiantara yang dilansir dalam berita harian Menkominfo:
“memang tidak dapat dipungkiri kehadiran medsos yang sangat ramai dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sedikit banyak telah mengubah pola pikir penggunanya, sehingga sebagai pengguna media sosial yang cerdas, kita harus tetap waspada dan berhati-hati dalam penggunaannya karena memang banya mudlorotnya dari pada manfaatnya”.
Oleh karena itu, Menkominfo dalam salah satu pernyataanya mengumumkan gerakan cerdas dalam menggunakan media sosial.
Menkominfo juga mengungkapkan bahwa, sekitar 63 juta warga Indonesia untuk saat ini menjadi pengguna internet baik dengan menggunakan Handphone, Laptop maupun alat elektronik lainnya, dan 95 % dari angka tersebut menjadi pengguna media dan jejaring sosial. Oleh karena itu, tak heran untuk saat ini Indonesia menempati peringkat ke 4 dalam pengguna facebook terbesar di dunia setelah USA, Brazil dan India dan menempati peringkat ke 5 pengguna twitter terbesar setelah USA, Brazil, Jepang dan Inggris. Beberapa indikasi kejahatan juga banyak terjadi akibat dari penggunaan media sosial ini, mulai dari trafiking, perdagangan ilegal, korban hoax, sexual dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita perlu lebih cermat lagi dalam menggunakan media sosial ini. Salah satu konsep yang ditawarkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan adalah Sadd adz-Dzari’ah.
Sadd adz-dzariah dan Fath adz-Dzari’ah
Sadd dzari’ah adalah salah satu metode istinbath dan penetapan hukum yang secara eksplisit dikemukakan oleh Imam malik, bahkan Imam asy-Syathibi menyebutkan dalam kitabnya al-I’tishom bahwa Imam Maliklah yang paling banyak menggunakan kaidah ini.
Dzari’ah menurut bahasa berarti wasilah atau mediator (penghubung). Sedangkan menurut ulama’ ushul sadd adz-dzari’ah berarti menutup jalan yang menjadi mediator atau penghubung kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung mafsadat (kerusakan). Mediator kepada yang haram berarti hukumnya haram begitupula mediator kepada yang wajib maka hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, menurut Imam al-Qorofi dalam kitab at-Tathbiqot al-Mu’ashiroh li sadd adz-Dzari’ah hukum mengandung dua hal, pertama yaitu maqoshid (tujuan) yang mengandung maslahat dan mudlorot, kedua wasa’il/wasilah yaitu mediator atau penghubung. Hukum wasa’il mengikuti hukum maqoshid, jika maqoshidnya wajib maka hukumnya wajib, dan jika maqoshidnya haram maka wasailnya haram. Sebagaimana yang dicontohkan para ahli ushul bahwa zina hukumnya haram, maka melihat ‘aurot perempuan yang dapat menghubungkan kepada perzinahan hukumnya juga haram, karena melihat ‘aurot termasuk kategori wasa’il/wasilah (mediator atau penghubung) kepada zina. Demikian pula, sholat jum’at hukumnya adalah wajib, maka meninggalkan jual beli untuk melaksanakan sholat jum’at juga wajib.
Konsep sadd adz-dzari’ah ini bermula dari prinsip pertimbangan konsekwensi atas suatu perbuatan yang sangat erat kaitannya dengan hukum sebab-akibat karena, konsekwensi suatu perbuatan merupakan hal yang dikehendaki dalam syari’at Islam sehingga sangat diperhatikan dalam penetapan hukum. Dengan demikian, seseorang tidak akan mencapai tujuan syara’ dengan tanpa adanya wasilah (mediator) sehingga, segala perbuatan dan tindakan yang mengarahkan seseorang terhadap suatu kemaslahatan maka orang itu dituntut untuk mengerjakannya (fath adz-dzari’ah), sebaliknya segala tindakan yang mengarahkan seseorang kepada kerusakan maka dituntut untuk meninggalkannya (sadd adz-dzari’ah).
Oleh karena itu, syari’at menutup segala wasilah (mediator) yang dapat menyampaikan seseorang terhadap mafsadat (kerusakan) dan mudlorot dan membuka jalan yang menyampaikan kepada maslahat. Dengan demikian, untuk meraih kemaslahatan, ada cara-cara atau mediator yang menyampaikan kita kepada kemaslahatan. Demikian pula untuk menolak kemafsadatan, ada cara-cara untuk menghindarinya. Cara yang menyampaikan kita kepada kemaslahatan disebut fath adz-dzari’ah (membuka jalan). Sedangkan cara untuk menghindarkan kita dari kemafsadatan disebut sadd adz-dzari’ah (menutup jalan).
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu disebutkan, membuka wasilah (fath adz-dzari’ah) dalam perkara yang kemungkinan maksiat diperbolehkan dengan beberapa catatan yang bersifat ketat. Pertama, apabila potensi untuk terjadi maksiat sangat sedikit, kedua, apabila kemaslahatan melakukannya lebih besar dibandingkan dengan kerusakan yang akan timbul. Dalam Furu’ fiqhiyyah (cabang-cabang fiqh) sering dicontohkan oleh para ulama’ bahwa, seorang dokter laki-laki ketika mengobati perempuan diperbolehkan untuk melihat aurot sensitif ketika ada hajat untuk mengobati bagian tersebut dan kemaslahatan yang ditimbulkan itu lebih besar dari pada mafsadatnya.
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa, dengan maraknya penyalahgunaan media sosial di masa sekarang, sangat perlu bagi kita untuk menimbang kembali kedua sisinya, negatif dan positifnya, manfaat dan tidaknya, maslahat dan mudlorotnya. Konsep sadd adz-dzari’ah sangat sesuai untuk diaplikasikan dalam hal ini. Oleh karena media sosial ini termasuk kategori wasilah (mediator), maka apabila penggunaan media sosial dengan segala macam jenisnya seperti facebook, WA dan twitter lebih memudahkan kita untuk Taqorrub kepada Allah dan untuk hal-hal positif lainnya maka penggunaannya diperbolehkan, akan tetapi apabila dalam penggunaannya menyebabkan jatuh kedalam maksiat, tindak kejahatan dan lain sebagainya, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Sehingga dengan inilah tujuan dari pada hukum syari’at tercapai.
Catatan: latar belakang ulasan singkat ini adalah karena iseng dan semata-mata rasa kagumnya terhadap seorang Kiai dari Rembang yang bernama Gus Baha’uddin bin Kiai Nur Salim yang sama sekali tidak menggunakan media sosial dan juga alat telekomunikasi lainnya, padahal beliau seorang kiai yang sangat tenar, pakar tafsir, ushul fiqh dan sebagainya. Landasan beliau tidak menggunakannya yaitu salah satu Qoidah Fiqhiyyah yang sangat populer berbunyi “Dar’u al-mafasid muqoddamun ‘ala jalbi al-masholih” yang berarti Menolak mafsadat lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan, kalau di dalam terminologi ushul fiqh dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Salah satu kutipan dawuh beliau:
“Ya kalo rawan bahaya, lebih baik jangan”
Karena menurut beliau “orang terkadang merasa terhegemoni pemikiran barat, arus pornografi dan macam-macam, ya karena mereka menggunakan”
Juga rasa kagum kepada seorang Kiai dan beliau termasuk masyayikh PP. Nurul Jadid yang selalu menuangkan ilmunya kepadanya terutama maqoshid asy-syari’ah karena beliau memang pakarnya. Beliau pernah dawuh dalam salah satu sesi pengajian “mungkin media sosial ini bisa juga dikategorikan kholwat virtual (bersepi-sepi dengan lain jenis di dunia maya)”, dalam pengajian yang lain “Alhamdulillah bagi kalian yang masih belum punya facebook”.
Penulis : Ust. Alfan Jamil (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid)