MahadAly.Online– Dasar fiqh mawaris atau ilmu tentang pembagian harta warisan. diantaranya adalah surah An-Nisa (4) ayat 7 yang berbunyi,
لِلرَجَالِ نَصِيْبٌ مِمَا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْاَقْرَبُوْنَ وَلِلنِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْاَقَرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا
bagi orang laki–laki ada hak bagian harta peninggalan ibu–bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu–bapak dan kerabatnya. Baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di tetapkan.
Mengutip Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain, diriwayatkan dari Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitab Faroidh dari riwayat al-kalbi dari Abi Sholeh dari Ibnu Abbas dalam tarjumanul Quran diterangkan bahwa penduduk kafir jahiliyah pada masa Nabi Muhammad SAW. itu tidak memberi warisan kepada anak-anak perempuan dan anak kecil hingga mereka telah dewasa.
Kemudian di Madinah, terdapat sahabat bernama Aus bin Tsabit meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang istri, dua anak perempuan dan anak laki-laki (yang masih kecil semuanya). Syekh Ahmad bin Ahmad As Showi, dalam tafsirnya Hasyiyah as-Showi ‘ala Tafsir al-Jalalayn meriwayatkan dalam Hasiyah Showi-nya Aus bin tsabit meninggalkan seorang isteri dan tiga anak peremupuan.
Kemudian datanglah ahli waris ashobah (ahli waris yang mendapat sisa warisan), yakni anak pamannya bernama Syuaib dan Ahrohab. Kemudian dua anak paman tersebut mengambil harta peninggalan Aus bin tsabit dan tidak meninggalkan harta sedikitpun pada mereka.
Lalu istri Aus bin Tsabit yang bernama Ummukhahah mengadu pada Rasulullah akan kejadian hal itu. Ia mengadu bahwa Kholid dan Ahrojah telah mengambil harta warisan suaminya dan tidak menyisakan sedikitpun untuk mereka. Padahal kedua paman itu a adalah orang yang memiliki harta yang banyak. Rasulullah sempat bingung memutuskan bagaimana. Akhirnya, turunlah An-Nisa’ [4]: 7.
Ayat ini memberi pernyataan tegas pada umat manusia bahwa warisan itu tidak hanya diperuntukkan bagi orang laki-laki yang sudah baligh. Tapi juga pada perempuan atau siapaun yang berhak untuk mendapatkannya.
Lalu, apa itu ilmu mawaris atau faroidh ?
Syekh Abdul Fattah bin Husain dalam kitab Majmu’atu ar-Riwayah mendefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang orang yang mendapatkan warisan, orang yang tidak mendapatkan warisan, bagian setiap ahli waris dan tata cara membaginya.
Secara substansial, ilmu ini merupakan dua gabungan ilmu. Pertama, ilmu mawaris yang bersumber dari al-Quran, hadis dan ijtihad para ulama’. Kedua, ilmu hisab (matematika) sehingga dengan ilmu ini masing–masing ahli orang dapat menerima hak sesuai ukurannya.
Tujuan dari ilmu ini ialah menyampaikan hak-hak terhadap orang yang berhak mendapatkan warisan.
Hukum mempelajarinya ialah ada dua. Pertama, fardhu ‘Ain. Artinya, wajib mempelajari ilmu ini ketika tidak ada orang yang ahli dalam bidang ini. Kedua, fardhu kifayah, ketika sudah ada sebagian orang yang telah mempelajarinya. Sehingga, ketika didalam suatu daerah terdapat (minimal) satu orang saja yang ahli dalam ilmu ini, maka kewajiban orang lain gugur.
Ilmu ini termasuk dalam ilmu yang agung sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW,
تَعَلَمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَمُوْهَأ النَاسَ فَاِنَهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَلُ عِلْمٍ يُنْزَعُ مِنْ أَمَتِيْ
Belajarlah ilmu faroid dan ajarkanlah ilmu itu pada manusia. Sesungguhnya ilmu tersebut akan dilupakan. Ilmu faroidh adalah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku. (HR. Ibnu Majah no. 2719)
Meskipun ilmu yang pertama kali dicabut dari umat nabi Muhammad SAW.tapi harus ada yang ada tetap mempelajarinya. Toh, ini juga termasuk perintah dari nabi Muhammad.
Wallahu a’lam.