Saat ini, toleransi di Indonesia khususnya dalam bidang agama mencapai titik nadir, terutama sejak aliran sempalan semisal wahabi menggempur amaliah umat islam mayoritas. Hampir semua amaliah, mereka bid’ahkan, syirikkan dan kufaratkan. Bahkan permasalahan yang sebenarnya tidak perlu di perselisihkan juga mereka serang, seperti qunut subuh, menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya.
Padahal para Imam madzhab kita telah mencontohkan bagaimana menyikapi perbedaan fikih antar madzhab (masaail fiqhiyah baina al-madzahib) agar tidak terjadi perang urat syaraf, perdebatan yang tiada henti, hat speech (ujaran kebencian).
Memang perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab tidaklah sedikit, Rois Akbar, KH. Hasyim Asy’ari mengindentifikasi bahwa ada 14.000 empat belas ribu masalah ubudiyah dan muamalah antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Hanafi.
Apakah kemudian mereka saling menjatuhkan, menghujat dan bermusuhan antara satu dengan yang lain? Tentu tidak. Mereka bisa saling menghormati meski ada beberapa hal yang tidak mereka sepakati.
Begitu juga dengan Madzhab Syafi’i dengan Madzhab Hanafi, mempunyai banyak masalah furuiyah Salah satunya tentang qunut subuh. Terkait qunut subuh ini, ada cerita menarik saat Imam Syafi’i berkunjung ke pusat madzhab Hanafi, berikut kisahnya :
Pernah suatu ketika, tulis KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab At-Tibyan nya, Imam Syafi’i berziarah ke kuburan Imam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi. Di sana Imam Syafi’i menetap selama kurang lebih 7 hari, selama itu pula beliau mengkhatamkan al-Qur’an dan setiap kali khatam beliau “kirimkan” pahalanya kepada Imam Abu Hanifah.
Mengetahui bahwa yang sedang berkunjung adalah seorang Imam Besar, santri-santri Imam Abu Hanifah mempersilahkan Imam Syafi’i untuk mengimami di masjid mereka termasuk dalam sholat subuh.
Tapi anehnya, dalam sholat subuh beliau tidak pernah melakukan qunut subuh, padahal beliau berpendapat bahwa qunut subuh hukumnya sunnah. Hal ini menjadi perbincangan diantara para pengikut Imam Abu Hanifah. Dan timbul rasa penasaran, apa gerangan yang membuat sang Imam tidak melakukan qunut subuh.
Maka tatkala imam Syafi’i beranjak untuk pulang, sebagian santri Imam Abu Hanifah memberanikan diri untuk bertanya,
لماذا لم تقنت مدة اقامتك في قبته؟
“Kenapa anda (wahai imam) tidak berqunut selama engkau menetap di bascamenya Imam Abu Hanifah?”
Lalu Imam Syafi’i menjawab dengan penuh tawaddu’ :
لان امام ابا حنيفة لا يقول بنذب القنوت في صلاة الصبح، فتركته تأدبا معه
“Karena Imam Abu Hanifah berpendapat qunut sholat subuh hukumnya bukan sunnah. Oleh karena itu saya tidak melakukannya KARENA menghormati Imam Abu Hanifah”.
Dari cerita di atas, dapat di ambil ibrah bagaimana seharusnya menyikapi sebuah perbedaan pendapat. Tanpa mengedepankan ego kelompok sendiri, saling menghormati dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Mengingat perbedaan adalah sebuah kenicayaan, ada sejak masa Rasul yang notabenenya adalah paling baiknya ummat (khoiro ummah). Lantas mengapa kita sebagai umat yang jauh dari kata khoiro ummah belum bisa berdamai dengan segala perbedaan?
Oleh : Ahmad Qusyairy as-Salimy (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid).