Keindahan adalah hal yang disukai oleh semua orang, sehingga banyak yang berusaha untuk terlihat sebaik mungkin. Salah satu kebiasaan yang umum ditemui di kalangan masyarakat adalah penggunaan behel, baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Behel adalah kawat yang dipasang pada gigi dengan tujuan merapikan posisi gigi atau sekadar memperindah penampilan seseorang. Namun, bagaimana sebenarnya hukum penggunaan behel dalam pandangan Islam?
Dalam firman Allah surah An-Nisa’ ayat 119 disebutkan:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا
Artinya: Dan sesungguhnya aku akan menyesatkan mereka, dan pasti akan mendatangkan angan-angan kosong kepada mereka, dan pasti akan kuperintahkan mereka (memotong) telinga-telinga binatang ternak, dan pasti akan kuperintahkan mereka (mengubah) ciptaan Allah. Barangsiapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya dia akan merugi dengan nyata.
Dari ayat di atas, kita dapat memahami bahwa Allah melarang kita untuk mengubah ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, dalil tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum penggunaan behel yang saat ini marak dilakukan.
Karena tujuan penggunaan behel hakikatnya adalah untuk merapikan posisi gigi, maka tentu ada perubahan dari posisi gigi seseorang setelah menggunakan behel, termasuk dalam beberapa kasus mencabut gigi yang tidak sejajar.
Dalam beberapa kutipan kitab, dijelaskan sebagai berikut:
“في خبر الصحيحين: لعن الله الواصلة والواشمة والمستوشمة والواشرة والمستوشرة والنامصة”
Artinya: “Allah melaknat orang yang menyambung rambutnya, orang yang menggunakan tato, dan orang yang minta ditato, dan orang yang meruncingkan giginya, dan orang yang minta diruncingkan giginya, dan orang yang mencabut rambutnya.” (Is’adur Rofiq, juz 1, hal. 122)
Hadis ini memperkuat dalil al-Quran sebelumnya, bahwa orang yang melakukan hal-hal seperti dalam hadis tersebut, akan dilaknat oleh Allah. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dilarang untuk dilakukan.
Namun, hukum ini tidak mutlak adanya, artinya bisa saja berubah jika ada kebutuhan yang mendasarinya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Is’adur Rofiq, juz 1, halaman 123:
“أَمَّا لَوِ احْتَاجَتْ إِلَيْهِ لِنَحْوِ عَيْبٍ فِي السِّنِّ أَوْ عِلَاجٍ فَلا بَأْسَ بِهِ”
Artinya: “Jika seseorang membutuhkannya karena ada aib pada gigi atau untuk tujuan pengobatan, maka tidak ada masalah dengannya”
Dari keterangan di atas, jika penggunaan behel dilakukan karena adanya kebutuhan mendasari, seperti untuk memperbaiki posisi gigi atau masalah gigi yang menimbulkan aib jika dibiarkan, maka hukumnya diperbolehkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa menggunakan behel tanpa ada kebutuhan yang jelas atau sekadar untuk mempercantik diri, hukumnya tidak diperbolehkan dalam pandangan Islam. Namun, jika penggunaannya disertai dengan kebutuhan mendasari, seperti merapikan posisi gigi, atau masalah gigi yang menimbulkan aib jika tidak diatasi, maka hukumnya diperbolehkan.
Wallahu ‘alam.
Nawal Amany Faizah (Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid semester 1)