Suatu ketika, Yunus ibn Abdil A’la, salah seorang murid Imam Syafi’i rahimahullah, berbeda pendapat dengan sang imam. Kebetulan murid yang satu ini tipenya tempramental. Dengan emosional ia bangkit dari majlis, lalu pulang ke rumahnya.
Malam harinya, seseorang mengetuk pintu rumah Yunus. “Siapa?” tanya Yunus. “Muhammad,” jawab orang itu. Muhammad? Muhammad siapa ya, pikir Yunus. Ia mencoba mengingat-ingat semua kenalannya yang bernama Muhammad, ternyata banyak sekali, Muhammad bin ini, Muhammad bin itu. Tetapi satu orang tak dia ingat, yaitu Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, gurunya itu. Dengan ogah-ogahan, Yunus bangkit dari duduknya. Begitu pintu ia buka, ternyata yang berdiri di depan pintu adalah sang guru, Imam Al-Syafi’i, subhanallah. Sang guru mengalah mendatangi muridnya untuk islah, rekonsiliasi.
“Anakku Yunus,” Imam mulai berbicara setelah disilakan duduk. “Ratusan masalah telah mempertemukan kita, masa iya hanya karena satu masalah lantas kita akan berpisah? Kau boleh membenci kesalahan, anakku, tetapi jangan pernah membenci orang yang berbuat salah. Kau boleh mengutuk perbuatan maksiat, tapi jangan pernah mengutuk pelaku maksiat.”
Yunus sangat tersentuh dengan nasihat sang guru. Apalagi dengan closing statement berikut: “Yunus, kritiklah pendapat yang menurutmu tidak benar, tapi jangan kau bunuh karakter si empunya pendapat. Sebab, tugas kita mengobati penyakit, bukan membunuh si sakit.” [].
*Kyai Zainul Mu’in Husni, Lc (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid)