Dalam artikel ini, saya akan menggambarkan hasil catatan pembekalan bagi para santri semester tujuh Ma’had Aly Nurul Jadid yang sedang menjalani Bakti Santri (BMs) dan Praktik Kerja Santri (PKM). Pada semester ini, para santri diwajibkan untuk mengabdikan diri di pesantren mitra selama 45 hari.
BMs dapat dianggap sebagai bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN), sedangkan PKM merupakan versi praktikum yang diterapkan di Ma’had Aly Nurul Jadid. Sebelum keberangkatan, para santri menjalani berbagai persiapan, termasuk pembekalan, diskusi, dan pertemuan dengan dosen/mursyid sebagai pembimbing lapangan, dan berbagai kegiatan lainnya.
Salah satu sesi pembekalan diisi oleh K. Muhammad al-Fayyadl, selaku Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid, dengan tema “Menjadi Santri dengan Pribadi yang Positif dan Transformatif Bagi Lingkungan dan Masyarakat”. Dalam tema tersebut, terdapat dua kata kunci, yaitu “santri” dan “positif & transformatif”. Santri, seperti yang kita ketahui, adalah seseorang yang mencari ilmu di pondok pesantren, bahkan setelah masa aktifnya berakhir.
Kata “positif” merujuk pada sikap yang selalu berpikiran positif, inspiratif, dan memberikan solusi bagi permasalahan. Sedangkan kata “transformatif” mengacu pada kemampuan untuk menciptakan perubahan sosial yang baru. Dengan kata lain, seorang santri memiliki potensi untuk menghasilkan perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lebih baik.
Dalam kehidupan ini, manusia dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pembuat masalah (problem maker) dan pemecah masalah (problem solver). Tentu saja, sebagai santri, kita dituntut untuk menjadi pemecah masalah. Lalu, bagaimana caranya?
Pertama-tama, langkah pertama yang harus diambil adalah keluar dari kompleksitas ego pribadi. Kompleksitas ego ini merupakan sifat alami seseorang, seperti kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan diri sendiri daripada orang lain, yang dikenal sebagai ananiyah. Prinsip yang seharusnya dipegang adalah bukan “aku yang utama”, melainkan “lingkungan yang utama”.
Selanjutnya, untuk memiliki sifat pengabdian yang tinggi, kita harus mengatasi sifat egois tersebut. Jika kita menunggu untuk mengabdikan diri setelah selesai mengurus diri sendiri, pertanyaannya adalah, kapan kita akan selesai mengurus diri sendiri? Hal ini bukan berarti kita tidak perlu memperhatikan diri sendiri, namun cara yang tepat adalah dengan keluar dari ego kita sendiri dan memperhatikan lingkungan sekitar kita. Prinsipnya adalah memberikan perhatian 75% untuk orang lain dan 25% untuk diri sendiri.
Jika kita merasa selalu benar, sok tahu, atau angkuh, itu adalah bentuk dari ego yang perlu kita hindari. Sebagai seorang santri, sikap yang tepat adalah “لينوا لمن تتعلمون و تعلمون” (bersikaplah lemah lembut terhadap orang-orang dari siapa kamu belajar dan kepada siapa kamu berbagi ilmu).
Intinya, kita perlu memulai dari diri sendiri untuk memberikan pengaruh positif kepada lingkungan sekitar.
Ada tiga tahapan agar kita benar-benar menjadi pribadi yang transformatif, yaitu:
Pertama, bangunlah kepemimpinan dengan memiliki inisiatif sejak awal. Periksalah lingkungan sekitar kita. Jangan hanya menjadi pemadam kebakaran di saat-saat genting atau bersikap sok menjadi pahlawan.
Kedua, bangunlah partisipasi dengan membangun kepercayaan. Lakukanlah segala hal bersama-sama. Minimal berdua. Jika kita memiliki pandangan yang sama, tukarlah ide dan saling mendukung. Jika sudah ada kesepakatan yang baik, langsung laksanakan. Jangan menunggu persetujuan semua orang, karena “رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ” (Ridha manusia adalah puncak yang tidak bisa dicapai).
Ketiga, bangunlah ikatan. Sebagai contoh, gerakan “Indonesia Mengajar” yang digaungkan oleh Pak Anies Baswedan. Gerakan “Indonesia Mengajar” tidak bermaksud menjadi solusi untuk semua masalah pendidikan di Indonesia, namun kami meyakini bahwa partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita.
Belajar seperti ini memerlukan perlawanan terhadap ego. Oleh karena itu, hindarilah sikap cuek. Konsultasikanlah dengan pendamping untuk mendapatkan solusi. Jangan pula menjadi pahlawan yang berlebihan.
*Alfin Haidar Ali, Musyrif Ma’had Aly Nurul Jadid.