Catatan ngaji kitab al-ulama al-mujaddidun bagian ke dua ini, pembahasan berlanjut pada proses dialektika Islam dengan negeri-negeri non-Arab. Yang tentunya memiliki tantangan dakwah baru. Dan, hal ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa dielakkan lagi.

Dari proses dialektika dan seiring berjalannya waktu, akan ada pembauran dan keburaman. Umat Islam sangat  berpotensi tidak lagi melihat agama secara murni dan bersih sebagaimana para sahabat belajar kepada Nabi Muhammad SAW.

Dari sini, Nabi Muhammad SAW. menyampaikan kabar bahwa Allah akan membangkitkan sosok yang akan menjadi ‘pembaharu’ dalam agama. Mujaddid. Meski sosok mujaddid itu bukan ratu adil sebagaimana cerita-cerita yang diyakini sebagian masyarakat Jawa.

Dalam kitab Sunan Abi Dawud disebutkan sebagaimana berikut :

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

Artinya, “sesungguhnya Allah akan mengutus pada umat ini setiap seratus tahun akan orang yang memperbaharui dalam agama.”

Mbah Moen menjelaskan maksud hadits ini adalah akan ada orang yang menjelaskan sunah dari bid’ah (menghidupkan sunah), menghidupkan ilmu dan ahlul ilmi serta ‘memukul’-menghinakan ahli bid’ah.

Mbah Moen mencontohkan keadaan seperti ini pada periode pertama, yakni pada masa sahabat. Para sahabat itu tidak menulis serta tidak mencatat di lembaran dan kertas mereka kecuali al-Qur’an. Yang mana di dalamnya terdapat penjelasan segala sesuatu dan al-Qur’an itu sudah cukup menemani hari-hari mereka.

Hanya saja al-Qur’an yang dimaksud saat itu adalah al-Qur’an yang masih ada di dalam dada al-Musthofa, Nabi Muhammad SAW.  sebagaimana dalam firman Allas SWT. :

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًاً ِلجِبْرِيْلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللهِ مُصَدِّقاً لِما بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya, “Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.”

Nah, para sahabat ini, mereka mendengarkan al-Qur’an langsung dari Nabi Muhammad SAW. lalu al-Qur’an itu masuk dan menetap di dalam hati para sahabat disebabkan cahaya yang memancar wajah Nabi Muhammmad SAW. Sehingga para sahabat ikut bercahaya disebakan cahaya Nabi al-Musthofa di dalam hati  dan anggota badan mereka. Tak heran, bila pada masa nabi para sahabat dilarang menulis sabda nabi, karena khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an.

Meskipun begitu, ada beberapa sahabat yang tetap menulis sabda nabi secara sembunyi-sembunyi. Salah satunya -sebagaimana penjelasan Gus Fayyadl- adalah sahabat Abu Hurairah. Ini yang jarang diketahui.

Kemudian catatan-catatan Abu Hurairah ada hingga sampai pada Ibnu Syihah Az-Zuhri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali membukukan hadits. Jadi kalau ada orang yang menyangkal kehujjahan hadits karena datang belakangan jauh setelah al-Qur’an, tapi fakta membuktikan terdapat sahabat nabi yang tetap mencatat hadits.

Seiring berjalannya masa, wilayah dan dakwah Islam semakin menyebar dan merata di seantero penjuru dunia, maka tidak cukup ajaran agama hanyamerujuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunah. Karena banyak permasalahan kontemporer yang tidak ada pada masa nabi dan sahabat akan tetapi perlu ada jawaban dari agama Islam.

Faktor inilah yang mendorong para ulama untuk berijtihad. Mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menggali serta merumuskan hukum dalam menyikapi permasalahan yang baru. Yang tidak ada dan tidak pernah terjadi di zaman nabi.

Periode selanjutnya adalah periode ke dua, muncullah nama-nama seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para mujtahid yang lain. Lalu menyebarlah pandangan mereka bahwa al-adillah asy-syar’iyyah (dalil-dalil syariat) yang sepakati itu ada empat, yakni al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas.

Penjelasan ini ada di halaman 4-5. Mbah Moen menyingkat dua periode ini menjadi dua paragraf. Gus Fayyadl mengungkapkan bahwa Mbah Moen ini hebat, menyingkat dua periode ini menjadi sebanyak dua paragrag. Hal ini menujukkan kedalaman ilmu beliau. Padahal, kalau kita baca di dalam kitab-kitab sejarah/thabaqat karya para ulama, mereka menulis/mengarang kitab tebal-tebal.

*Alfin Haidar Ali, Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid.

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?