Penyelesaian problematika agama pada masa nabi langsung ditangani oleh Nabi atas dasar wahyu yang diturunkan oleh Allah. Ketika Nabi wafat umat Islam masih merupakan umat yang kecil dan sedikit jumlahnya. Mereka terdiri dari bangsa arab yang mendiami semenanjung arabia terutama kota Madinah. Periode selanjutnya adalah periode sahabat. Daerah Islam semakin luas, masalah yang dihadapi juga bertambah komplek. Sehingga memaksa para sahabat untuk menyelesaikan sendiri permasalahan melalui cara kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis. Akan tetapi banyak permasalahan yang tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan al-Hadis secara eksplisit. Maka mereka meyelesaikan permasalahan tersebut secara personal yaitu ijtihad.

Tentunya metode ini tidak memberi kepastian akan benarnya fatwa yang mereka putuskan karena tidak adanya penguji yang menyatakan akan benar dan salahnya pendapat tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini maka dilakukanlah Ijma’ (konsensus) sebagai bentuk problem solving dari sifat keambiguan dari hasil ijtihad. Hanya saja tidak semua hukum dapat dikonsensuskan oleh para ulma’.

Dari sanalah umat islam mengikuti pendapat yang mereka yakini benar menurut masing masing individu, dari keadaan seperti ini muncul istilah dikalangan umat islam yang disebut dengan madzhab.

Madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum Islam, yang digali dari dalil- dalil syari’at yang rinci serta kumpulan berbagai kaidah dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan. Sedangkan mengikuti pedapat mujtahid itu disebut dengan bermadzhab. Sebenarnya benih benih dari tradisi bermadzhab secara aplikatif sudah ada pada masa nabi dan sahabat, akan tetapi masih belum tersistem seperti di era imam madzhab.

Seperti perbedaan 2 kelompok sahabat di dalam memahami nash pada saat nabi menyuruh para sahabat untuk menuju ke bani quraidzah “barang siapa yang beriman kepada nabi dan hari akhir maka hendanglah jangan sholat kecuali di bani quraidzah” maka ketika waktu asar tiba ketika mereka dipertengahan jalan, sebagian dari mereka berberpendapat bahwasanya kita wajib sholat asar tepat pada waktunya karena yang dikehendaki dari sabda nabi adalah agar para sahabat cepet sampai ke bani quraidzah. Sebaliknya kelompok yang lain berpendapat “itu tidak boleh solat asar disini sebelum sampai ke bani quraidzah karena demikianlah yang diperintah oleh nabi, rasulullah pun tidak menyalahkan dua kelompok tersebut.

Kelompok pertama bermadzhab tekstualis sedangkan kelompok kedua bermadzhab kontekstualis. Ini membuktikan bahwa sanya nabi membuka dintu ikhtilaf didalam masalah furu’. Sedangkan di era sahabat tatkala ada permasalahan, mereka merujuk kepada sahabat sahabat tertentu, seperti umar bin khattab ,ibnu mas’ud, ibnu abbas, ibnu umar dan sahabat yang lainnya. Ini juga membuktikan bahwasanya tidak semua sahabat melakukan aktifitas ijtihad, akan tetapi hanya sbagian sahabat yang berijtihad dan dijadikan termpat rujukan oleh sahabat yang lain..

Langkah aman di dalam beragama adalah dengan cara ber-madzhab, karena tidak semua orang mukallaf mempunyai kemampuan dalam memahami apa yang ditunjukkan oleh nas al- Quran maupun al-Hadis. Andaikan kita menginginkan untuk terbang ke angkasa maka sudah pasti kita harus ikut pilot yang bisa mengemudi pesawat, sebab tatkala pesawat dikendalikan oleh kita yang tidak mempunyai keahlian dalam hal tersebut maka yang akan terjadi adalah kecelakaan besar. Begitu pula dalam beragama sdh seharusnya kita mengikuti orang yang ahli dibidangnya. Para imam madzhab (mujtahidun)itu telah disepakati para ulama’ paling memiliki otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum Islam yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, dan merekalah ulama’ yang diberi kewenangan oleh Allah dan rasulnya untuk menjelaskan kebenaran agama islam kepada kita semua.

Fenomena yang terjadi saat ini, muncul kelompok yang selalu menanyakan dalil setiap saat melakukan ibadah. Seakan akan mereka memaksakan diri dan memantaskan diri untuk menjadi mujtahid. Ini tentunya meresahkan bagi sebagian orang yang tidak tahu dan memahami dengan mendalam dalil dari ibadah yang dilakukan, karena mereka menggunakan prinsip ikut guru dan kebiasaan. Ironisnya, walaupun mereka menentang terhadap tradisi bermazhab, akan tetapi mereka dalam aspek amaliyah maupun ilmiyah mereka juga mempunyai imam yang mereka jadikan rujukan sebagai dasar dan ladasan didalam berhujjah dan melaksanakan ajaran agama.

Hal ini membuktikan bahwa menentangnya mereka terhadap tradisi bermadzhab itu hanyalah kesalah fahaman mereka tentang devinisi ber-madzhab, atau karena kefanatikan mereka terhadap kelompok yang mereka akui kebenarannya dan menyalahkan kelompok lain yang memiliki manhaj yang berbeda di dalam beragama.

Seharusnya, Kita harus menyadari bahwa kita hidup bukan dizaman rasul. Kita bisa menikmati manisnya islam melalui wasilah(perantara) para sahabat, tabi’in sampai pada ulama’ dan guru guru kita. Sehingga tidak tepat jika semua orang harus tahu dan hafal dalil ketika mau beribadah. Dan sudah seharusnya bagi umat islam yang belum mampu untuk memahami dalil- dalil ibadah untuk menyandarkan semuanya kemada para guru dan para imam madzhab.

 

Oleh : Ust. Moh. Faizin (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid)

Sumber gambar : nu.or.id

Publisher : Alfin Haidar Ali

 

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?