Konon, kata Syekh Zainuddin al-Malibary dalam kitab Irsyadul Ibadnya, pernah ada seseorang ingin membeli seorang budak, sebelum membeli, ia mengeceknya terlebih dahulu khawatir si budak mempunyai cacat. Budak pada masa itu, memang legal di perjual-belikan, layaknya sebuah barang. Sehingga cacat-tidaknya juga menjadi pertimbangan sekaligus menurunkan nilai jualnya.
Alhasil setelah di kroscek, tidak ada yang perlu di khawatir, si budak tidak memiliki cacat fisik sedikitpun, badannya sehat wal afiat kecuali ia “hanya” seringkali mengadu domba, Syaikh Zainuddin yang juga pengarang kitab populer bernama Fathul Mu’in itu menggunakan redaksi نمام (Nammamun) mengikuti wazan فعال (fa’aalun) yang dalam ilmu nahwu di sebut sighat mubalagah. Sighat yang mempunyai arti maha, suka, sering atau banyak.
Dengan demikian, si budak memiliki track record namimah (mengadu domba) cukup banyak bukan hanya satu atau dua kali.
Tapi si pembeli menganggap namimah sebagai “aib” yang masih bisa di tolerin, tergolong aib yang ringan tidak perlu di permasalahkan. Akhirnya terjadilah transaksi jual beli budak tadi.
Singkat cerita, si budak mulai melayani tuan barunya itu. Meski belum lama tinggal dengan tuan barunya, tapi si budak sudah berulah, kebiasaan buruknya yang sudah meng-akut butuh “korban”.
Maka korban pertama adalah tuannya sendiri, ia mengadu domba (namimah) antara tuan perempuan dan tuan laki-lakinya. Si budak bilang kepada istri tuannya bahwa suaminya akan menikah lagi, nikah sirri dengan wanita lain.
Mendengar kabar dari si budak sang istri tuannya harap harap cemas. Si budak lantas memberikan “solusi” agar suaminya tidak jadi menikah lagi. Ia menyarankan untuk menguna-guna suaminya dengan perantara rambut, maka si budak menyuruh si istri untuk mengambil rambut suami dengan menggunakan pisau kecil. Celakanya, si istri membenarkan apa yang dikatakan budaknya itu, bahkan ia mau melakukan apa yang di sarankan sang budak.
Ia bertekad akan mengambil saat sang suami tidur terlelap.
Selanjutnya si budak menghadap tuan laki-lakinya, ia bilang bahwa istrinya hendak menyembelihnya saat tidur nanti, sang tuan ragu-ragu dengan pernyataan si budak, tapi si budak tidak kalah cerdik. Ia kemudian menjelaskan bahwa si istri nanti malam akan datang dengan membawa pisau kecil untuk menyembelihnya. Mendengar penjelasan itu, si suami berpikir tidak ada salahnya kalau saya pura-pura tidur untuk memastikan apa yang di katakan sang budak adalah benar adanya.
Saat malam tiba, si suami melakukan seperti rencananya, pura-pura tidur, begitu juga si istri benar-benar melakukan aksinya, ia menyangka bahwa sang suami telah tidur terlelap.
Saat si istri datang dengan membawa pisau, si suami berkata dalam hati, ” ternyata benar apa yang di katakan budak itu, “. Tapi saya tidak boleh gegabah, sampai benar-benar istriku berencana membunuh ku, “.
Lalu saat si istri mulai menurunkan pisaunya untuk memotong rambut si suami, seketika itu, si suami mengambil alih pisau tersebut dan tanpa banyak bicara, si suami langsung menggorok leher istrinya.
Saat keluarga si istri mengetahui hal itu, mereka langsung membunuh si suami. Sejak saat itu, dua keluarga yang dulunya bersatu dalam bingkai pernikahan menjadi saling membunuh antara satu dengan yang lainnya. Syekh Zainuddin mengakhiri kisahnya dengan kalimat
فوقع القتال بين الفريقين بشوؤم ذالك النمام
Terjadilah peperangan di antara dua kelompok sebab jeleknya adu domba
Naudzubillah!.
Namimah (Adu Domba) memang sangat berbahaya, ia bisa membuat persatuan bercerai berai dan Cinta kasih sayang menjadi permusuhan. Belanda berhasil mempertahankan jajahan atas Indonesia kerena intrik-intrik politik yang mereka sebut “devide et impera” atau politik pecah belah. Dalam politik pecah belah ini, kolonial mengadu domba antara satu kesultanan dengan kesultanan lainnya, satu agama dengan agama lain. Termasuk mengadu antara kekuatan Islam sendiri.
Alhasil usaha para pahlawan kita selalu berhasil di taklukkan, setelah sebelumnya persatuan yang mereka bangun di koyak dengan “devide et impera/politik adu domba anak kandung dari Namimah.
Sumber gambar : Suara Kutim
Penulis : Ust. Ahmad Qusyairi As-salimy (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid)
Publisher : Alfin Haidar Ali