Namaku  Abu Hasan, aku lahir dari negara Yaman, negara yang diberi kelebihan  dari bangsa bangsa lain yaitu mudah menerima dan mematuhi kebenaran. Aku bangga menjadi bagian dari negeri para alawiyin. Ayahku wafat  saat aku masih kecil, saat aku tidak mengerti  akan arti kehidupan. Selang beberapa waktu , setetelah menyelesaikn iddah, ibuku menikah lagi dengan seorang lelaki yang bernama  Abu Ali al-Juba’i, beliau merupakan seorang ulama’ terkemuka yang berpaham Mu’tazilah, paham yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash (Al-Qur’an dan Hadits).

Sebagaimana  anak-anak Yaman pada umumnya, aku sedari kecil telah diajari ilmu agama oleh Ayah tiriku, tentunya sesuai dengan paham yang beliau anut, Mu’tazilah. Jadilah beliau ayah sekaligus guru bagiku. Dengan telaten guruku mengajari dasar-dasar ilmu agama, sehingga aku paham betul tentang syari’at islam, khususnya paham Mu’tazilah. Bahkan saat aku telah beranjak dewasa, seringkali guruku memberi  kepercayaan kepadaku  untuk menghadiri  forum-forum  debat ilmiah  yang diadakan permintah khususnya tentang teologi.  Bisa di bilang akulah primadona paham Mutazilah pada saat itu, karena setiap kali berdebat,  dapat di pastikan lawan debatku tidak berkutik dengan argumen-argumen yang aku keluarkan. Katakanlah aku Singa Mu’tazilah pada waktu itu. Hal ini, aku lakoni sampai umurku menginjak kepala empat, tepatnya  40 tahun.

Namun meskipun begitu, harus aku akui bahwa  semua itu tidak lantas memberikan ketenangan hati dan ketentraman berfikir.  Ada sesuatu  yang menganjal dalam benakku, aku merasa ada yang tidak beres dan ada yang salah dengan paham yang aku anut selama ini. Dalam paham Mu’tazilah, Akal (dalil Aqli) harus di dahulukan daripada  dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis) sehingga ketika hendak memecahkan masalah-masalah tentang hal yang ghaib saya merasa kesulitan dan terkdang buntu karena akal ini tidak bisa menjangkaunya.

Akhirnya kemusykilan itu aku diskusikan dengan guruku, guru yang selama ini aku kagumi dan hormati, Imam Al-Juba’i. Aku bertanya “Wahai guru, Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, yakni satu orang mukmin, satu kafir dan satu lagi anak kecil?”

“ Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka sedangkan si anak kecil akan selamat, “ jawab guruku dengan penuh keyakinan

Namun jawaban tersebut masih belum membuatku puas, aku butuh jawaban yang rasional, yang bisa di terima akal. Pertanyaan kedua aku lontarkan “Wahai guru! Mungkinkan si anak kecil tersebut minta derajat yang tinggi kepada Allah  SWT?”

“Oh tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, “Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi, karena amalnya sedangkan engkau masih belum beramal, jadi, engkau tidak bisa memperoleh derjat yang tinggi” demikian guruku menjelaskannya.

Namun lagi-lagi jawaban itu masih belum dapat memusakanku, bahkan semakin membuatku penasaran untuk bertanya lebih banyak lagi

“ Bagaimana  kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata,

“ Tuhan demikian itu bukan salahku, andaikan engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu!” ungkapku mencoba menalar jawaban yang diberikan guruku

Lantas beliau menjawab “Oh tidak bisa, Allah akan menjawab “ Oh, bukan begitu, justru karena aku mengetahui, jika kamu di beri umur panjang akan durhaka. Oleh karena itu, untuk menjagamu aku matikan kamu sejak kecil. Itulah yang terbaik (aslah) bagimu.

Mendengar jawaban guruku, aku semakin yakin bahwa faham yang aku anut selam ini ada yang keliru. Bahkan jawaban barusan, mengilhamiku untuk bertanya satu kali lagi, dan aku yakin kali ini guruku tidak dapat menjawabnya,

“Mohon maaf guru, masih ada kemusyikilan dalam fikiranku terkait dengan jawaban yang engkau berikan, oleh karena itu berkenankah  jika aku bertanya satu kali lagi?

“Oh yaa… silahkan wahai anakku, jawab guruku seraya mempersilahkan

“ Baiklah guru, “Bagaimana jika orang yang kedua (orang kafir) juga menggugat , dan berkata“  Wahai tuhan, kenapa engkau tidak matikan aku ketika aku masih kecil, sehingga aku tidak masuk neraka, padahal engkau telah mengetahui masa depanku, juga masa depan si anak kecil. Tapi mengapa engkau membiarkanku menjadi kafir dan  mengapa engkau tidak memperhatikan masa depanku sebagaimana masa depan si orang mukmin dan si anak kecil, adilkah  engkau jika demikian?” Tanyaku dengan pajang lebar dengan menyertakan logika berikir guruku

Benar dugaanku, guruku bungkam seribu bahasa, tidak ada satupun kata  yang keluar darinya, fikiran beliau buntu untuk menjawab pertanyaanku tadi, sama sepertiku saat aku bungkam ketika hendak menjawab petanyaan masalah ghaib. Pertanyaan terkahirku juga sekaligus mematahkan teori pahamku (mu’tazilah), tentang kewajiban Allah SWT berbuat Sholah (kebaikan ) dan Aslah  (yang lebih baik) kepada hambaNya.

Sejak itu aku mengurung diri di dalam rumah selama 15 hari, selama itu pula  ber-tafakkur dan menelaah dalil-dalil yang selama ini aku jadikan pedoman hidup. Namun sayangnya, aku tidak  menemukan jalan keluar yang memuaskan. Maka aku berdoa kepada Allah agar aku di beri petunjuk. Allahpun memberi petunjuk kepadaku.

Setelah itu, aku memantap diri, untuk melepas semua paham Mu’tazilah yang aku anut sejak kecil, dan kembali kepada ajaran Rasulullah SAW. Maka di hari ke 16 aku keluar rumah. Hari itu hari juma’at, hari dimana umat muslim berkumpul untuk melaksanakan sholat jum’at.  Saat aku di beri kesempatan berpidato, akupun tidak menyia nyaikan untuk menyampaikan kebenaran yang telah aku temui.

“Wahai saudara-saudaraku! Sebanaranya aku menghilang selama ini, karena aku bertafakkur, meneliti dan menelaah dalil-dalil  semua ajaran yang ada dan yang selam ini  kita jadikan pedoman hidup. Namun sayang seribu sayang aku tidak menemukan jalan keluar yang memuasakan. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah agar memberi petunjuk kepada ku, Kemudian Allah memberi petunjuk kepadaku. Dan Mulai, detik ini, jam ini dan hari ini aku cabut semua ajaran yang selama ini aku yakini (mu’tazilah), yang selama ini aku bela (Mu’tazilah). Dan berpindah kepada paham baru, paham yang mengikuti Rasulullah dan para sahabat yang di kemudian hari di kenal dengan Ahlusunnah wal-jamaah

Kelak paham yang aku pilihini di anut oleh sebagian besar umat muslim dunia, aku bangga karena bisa berkontribusi kepada Agama yang aku cintai, nabi yang aku sayangi, terutama dari paham keliru, yang selama 30 tahun aku bela.

Namaku lengkapku Abu Al-Hasan  bin Ismail bin Abi Bisyir Ishaq bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah  Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asyari. Biasanya orang memanggilku Imam Asya’ri. Aku Dulunya Ma’tazilah, Sekarang dan Selamanya Aku Ahlusunnah Wa al-Jamaah . Kelak aliranku ini menyebar ke seluruh dunia termasuk Nusantara. Bahkan di jadikan madzhab oleh salah satu Ormas terbesar di sana. Aku meninggal di kota Bagdad tahun 324 H/935 M.

*Penulis adalah Alumni Ma’had Aly Nurul Jadid Angkatan 2014-2015

Sumber Bacaan

Situs PCNU Kendal

Debat Imam Asyari VS Mu’tazilah

By

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?