Sosok manusia multidimensional yang tak habis dibicarakan adalah wanita, dan namanya menjadi topik perbincangan dalam banyak artikel yang membahas tentang perempuan. Perjalanan sejarah kepemimpinan wanita dimulai dari masa jahiliah yang tidak jarang menjadikan perempuan seperti barang yang diperjual belikan, hingga terbitnya era Islam yang memuliakan sosok tersebut.
Makna kaum hawa telah dibahas dari berbagai paham dan tradisi pemikiran yang belum sepenuhnya terkaji. Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, perempuan tidak dibedakan dengan laki-laki namun justru disamaratakan, asalkan ia memiliki kemampuan yang setara. Sementara itu, dalam perspektif tasawuf, relasi antara laki-laki dan perempuan juga diperlakukan dengan adil dan setara.
Namun, dalam fikih, terdapat beberapa perbedaan terutama dalam segi kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan, di mana para ulama memiliki pendapat yang beragam. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa kepemimpinan seorang perempuan tidak diperbolehkan, dengan mengacu pada Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡاَمۡوَالِهِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ؕ وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّفَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّسَبِيۡلًا ؕاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
Para ulama menyatakan bahwa kelamin laki-laki merupakan syarat pemimpin (wali), sehingga seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin. Mereka juga berpendapat bahwa secara kodrati, wanita memiliki dua kekurangan, yaitu kekurangan agama dan kekurangan intelektualitas.
Rasulullah SAW, ketika ditanya tentang kekurangan agama dan inteletualitas yang dimiliki wanita, menjawab bahwa persaksian seorang wanita senilai dengan persaksian setengah laki-laki (atau persaksian satu laki-laki senilai dengan persaksian dua perempuan).
Hal ini dianggap sebagai kekurangan intelektualitas yang dimiliki oleh wanita. Beliau juga menyebutkan bahwa jika sedang menstruasi, wanita tidak melakukan shalat dan puasa, dan itu dianggap sebagai kekurangan agama mereka.
Namun, di tengah realitas kontroversial ini, ada beberapa negara yang dipimpin oleh perempuan, termasuk negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Kesimpulannya, perdebatan tentang kepemimpinan wanita dalam perspektif Islam tetap menjadi topik yang menarik perhatian dan perlu dipahami dengan baik. Berbagai pandangan dan pemahaman dalam pemikiran Islam menyajikan sudut pandang yang beragam, dan realitas kepemimpinan wanita di negara-negara Muslim menunjukkan adanya tantangan dan perubahan dalam konteks zaman yang terus berkembang.
*Leni Nur Kholishoh M., Mahasantri Semester 3 Ma’had Aly Nurul Jadid