Berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan adalah hal yang lumrah. Karena memang pada dasarnya kita di ciptakan dalam keadaan berbeda. Mulai segi fisik hingga jalan fikiran kita, buktinya? Bukankah seringkali kita berbeda pendapat tentang suatu hal dengan teman, partner maupun saudara? Betul!
Begitu juga yang terjadi di dalam fikih kita, banyak sekali perbedaan pendapat. bahkan tidak jarang perbedaan tersebut menimbulkan perdebatan ilmiah yang sengit. Saat ini kita mengenal yang namanya madzhab. Yang mana antara satu madzhab berbeda dengan madzhab yang lain. Sebagai contoh, hukum membaca basmalah dalam sholat. Imam syafi’i berpendapat wajib di baca dengan nyaring kerena menurut beliau basmalah adalah bagian tidak terpisah dari fatihah.
Imam Asy-Syairazi (W. 476 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut 1 – 138 :
ويجب أن يبتدئها بسم الله الرحمن الرحيم فإن آية منها والدليل عليه ما روت أم سلمة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ بسم الله الرحمن الرحيم فعدها آية منها ولأن الصحابة رضي الله عنهم أثبتوها فيما جمعوا من القرآن فيدل على أنها آية منها فإن كان في صلاة يجهر فيما جهر بها كما يجهر في سائر الفاتحة
” Wajib untuk memulai Al-Fatihah dengan bismillahirrahmanirrahim, karena merupakan salah satu ayatnya…. Kalau shalatnya jahr, maka basmalah dibaca jahr juga sebagaimana ayat lainnya”
Lain halnya dengan Madzhab Maliki, yang berpendapat bahwa membaca basmalah hukumnya tidaklah wajib, baik nyaring (jahr) maupun tidak nyaring (sirr). Hal ini disebabkan dalam madzhab maliki basmalah bukanlah bagian dari surah fatihah. Imam al-Imam Malik (w. 179 H) menuliskan pendapatnya di dalam kitabnya Al-Mudawwanah sebagai berikut :
وقال مالك : لا يقرأ في الصلاة بسم الله الرحمن الرحيم في المكتوبة لا سرا في نفسه ولا جهرا
Al-Imam Malik berkata, ”Di dalam shalat tidak perlu membaca bismillahirrahmanirrahim, yaitu dalam shalat fardhu, tidak sir dalam hati dan tidak jahr. “
Sedangkan menurut Madzhab Hanafi dan Hambali, basmalah bukanlah bagian dari fatihah, meski demikian, kedua madzhab tersebut tetap menghukumi sunnah di baca dalam sholat tapi dengan tidak nyaring (sirr). Ibnu Najim (w. 970 H) Salah satu ulama’ Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
قوله وسمى سرا في كل ركعة أي ثم يسمي المصلي بأن يقول: بسم الله الرحمن الرحيم هذا هو المراد بالتسمية هنا (
Qauluhu : dan bertasmiyah secara sirr di setiap rakaat) Orang yang shalat membaca Bismilillahirrahmanirrahim. Dan itulah yang dimaksud dengan tasmiyah disini”
Begitu juga dengan Ibnu Qudamah (w. 620 H) seorang ulama’ Madzhab Hambali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
jilid 1 hal. 344 مسألة: قال: (ولا يجهر بها) يعني (بسم الله الرحمن الرحيم) ولا تختلف الرواية عن أحمد أن الجهر بها غير مسنون
“Masalah : Beliau berkata : Dan tidak menjaharkannya (bismillahirrahmanirrahim). Tidak ada perbedaan riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa menjaharkan tidak disunnahkan”.
Yang saya tuliskan diatas hanya satu contoh saja jika ditulis bisa berjilid jilid. Perbedaan pendapat ini tidak hanya terjadi antar madzhab, ia juga terjadi di dalam lingkup madzhab itu sendiri, padahal metodenya. Sebagai contoh, ” hukum tentang kemakruhan siwak setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa.”
Dalam menyikapi ini setidaknya ada perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dengan Imam Nawawi yang notabenenya bermazhab Syafi’i tulen. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat hukumnya makruh sedangkan Imam Nawawi menyatakan tidak makruh. Perbedaan itu bukan lah persoalan serius, sepanjang perbedaan pendapat tersebut tidak sampai menyentuh ranah yang qath’i. Sepanjang itu pula perbedaan itu masih bisa di tolerin. Akan tetapi jika perbedaan nya telah menyentuh hal-hal yang qoth’i maka tidak boleh di biarkan dan harus diluruskan misalnya, berbeda pendapat tentang wajib-tidaknya sholat lima waktu Namun, meskipun begitu ada sebagian orang yang beranggapan bahwa perbedaan- perbedaan tersebut seharusnya dan selayaknya tidak pernah terjadi mengingat Agama, syari’at, dan sumber pengambilan hukumnya satu. Anggapan ini, juga tidak dapat dibenarkan. Seperti yang telah saya kemukakan diatas bahwa kita memang didesain untuk berbeda. Jadi jika terjadi perbedaan pendapat itu adalah hal yang lumrah.
Dalam membahas tentang perbedaan pendapat, hampir pasti tidak pernah luput dari pertanyaan yang satu ini. “Apa sih penyebab terjadinya perbedaan ulama (ikhtilaf ulama’) dalam hukum Islam? Syekh Dr. Wahbah Zuhaili, seorang pakar fikih kontemporer dalam kitab maqnum opusnya, fiqhul Islam wa adillatuhu mengungkapkan bahwa perbedaan pendapat dalam fikih Islam disebabkan banyak faktor diantaranya :
1. Ikhtilafu Ma’ani alfaadi al -arobiyah (perbedaan ma’kna lafadz lafadz dalam bahasa Arab).
2. Ikhtilafu riwayah (perbedaan riwayat)
3. Ikhtilafu masadir (perbedaan sumber hukum)
4. Ikhtilafu qawaid usuliyah ( perbedaan qawaid usuliyah)
5. Ijtihad bil qiyas (berijtihad dg qiyas)
6. Taarud wa tarjih baina adillatihi (pertentangan dan tarjih antara dalil-dalil )
Disamping diatas masih ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap hasil ijtihad yakni kemampuan sang Mujtahid sendiri. Tapi semua itu tidak lantas menurunkan derajat kemuliaan ajaran Islam. Bahkan akan semakin memberi keleluasaan bagi kita untuk mengikuti salah pendapat.
Jadi kesimpulannya perbedaan bukanlah penyebab terpecah belah umat akan tetapi adalah Rahmat. Dengan adanya perbedan tersebut, umat mendapat banyak pilihan pendapat. Dengan begitu, agama Islam adalah agama yang mudah, tidak kaku dan tentu menghormati setiap perbedaan.
*Ach. Qusyairi, S.E.
Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid.