Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai ijtihad yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagian ulama meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan ijtihad, sementara sebagian ulama lainnya berpendapat sebaliknya. Ulama yang mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad merujuk pada hadits sahih riwayat Imam Bukhari, yang berbunyi:
قوله عليه الصلاة والسلام للمرأة التي قالت: يا رسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم نذر، فقال: “أرأيت لو كان عليها دين أكنت تقضينه؟” قالت: نعم، فقال: “فدين الله أحق أن يقضى ” والقصة في الصحيح
Artinya: Seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW, “Ibuku berjanji untuk melaksanakan ibadah haji, namun meninggal sebelum melaksanakannya. Apakah aku boleh melaksanakannya untuknya?” Nabi SAW menjawab, “Bagaimana menurutmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu ingin melunasinya?” Wanita itu menjawab, “Iya.” Nabi SAW lalu bersabda, “Bayarlah utangnya kepada Allah, sebab utang kepada-Nya lebih utama untuk dibayar.” (HR al-Bukhari)
Dari hadits ini, dapat diambil pemahaman bahwa praktik ijtihad yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW menggunakan metode qiyas. Saat menjawab pertanyaan wanita mengenai permasalahan nadzar ibadah haji, beliau menganalogikan antara hutang kepada manusia dengan hutang kepada Allah. Dalam situasi lain, Nabi SAW juga berijtihad mengenai sahabat yang mundur (izin) dalam medan perang, berlandaskan pada ayat:
عَفَا ٱللَّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ
Artinya: Semoga Allah memaafkanmu (wahai Nabi). Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)? (At-taubah: 43)
Meskipun Nabi SAW berijtihad, Allah SWT menegurnya karena memberikan izin kepada orang munafik untuk tidak mengikuti peperangan (berjihad). Namun, menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya “Syari’atullah Al-Khalidah,” ijtihad Nabi tidak dapat dianggap salah. Ijtihad itu tidak disalahkan, dan jika terjadi kesalahan, akan ada peringatan segera.
والصواب أن اجتهاده عليه الصلاة والسلام لا يخطيء ، وقيل بالإثبات ولكن لا يقر على خطأ، بل يقع التنبيه على الخطأ فوراً
Artinya : Bahwasanya ijtihad yang di lakukan Rasulullah itu tidak disalahkan (benar). sedangkan menurut pendapat yang lemah ijtihad nabi boleh jadi salah, akan tetapi jika terjadi kesalahan maka akan segera ada peringatan.
Di sisi lain, ada ulama yang membantah pendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah melakukan ijtihad, dengan merujuk pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Najm ayat 3:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ
Artinya: Tidak pula berucap (tentang Al-Qur’an dan penjelasannya) berdasarkan hawa nafsu(-nya). (QS An-Najm: 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah keliru dalam ucapannya karena beliau tidak mengikuti hawa nafsunya. Mustafa Al-Maraghi menyatakan bahwa ulama menafsirkan surah Al-Najm ayat 3 sebagai penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penunjuk jalan yang selalu mengikuti kebenaran. Oleh karena itu, Allah SWT mensucikan Nabi dari golongan yang sesat. Dengan demikian, surah Al-Najm ayat 3 membantah pandangan orang-orang sesat yang menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang mengada-ada atau seorang ahli syiir, dll.
*Achmad Aisyul Mazidi, Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Nurul Jadid.