Mayatnya terkapar, hangus terbakar, tetangga sekitar yang menemukannya acuh membiarkan, bahkan seolah merasa lega dengan tiadanya orang yang menyesakkan (Linda Christanty. Jakarta 2001), secuil kasus dari sekian ribu kejadian yang merupakan muara dari krisis moral.
Diriwayatkan dari Umar RA,“ ketika kita duduk bersama Rosulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki, memakai pakaian sangat putih, memiliki rambut yang sangat hitam, dan kami tidak mengetahui jejak kakinya, juga tidak mengetahui dari mana datanganya, sehingga ia duduk di hadapan Nabi, menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi, meletakkan kedua telapak tanganya di atas kedua paha Nabi,
Kemudian ia berkata, wahai Rosulullah beritahu aku tetang islam, Nabi Muhammad SAW pun menjawab ‘ islam adalah hendaklah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah, melaksanakan sholat, membayar zakat, berpuasa dibulan romadhon dan melaksanakn haji ke baitullah jika kamu mampu,
Lalu ia menjawab ‘ engkau benar’, kami (sahabat) pun terheran, karena ia yang bertanya tapi ia juga yang membenarkan, tidak lama kemudian ia melanjutkan perkataannya ‘ beritahu aku tentang iman’, Rosulullah pun menjawab ‘ iman adalah kamu percaya kepada Allah, malaikatnya kitab-kitabnya, utusan-utusannya, percaya pada hari akhir, percaya pada ketetapan baik dan buruk dari Allah’, ia kembali membenarkan jawaban Rosulullah SAW,
Setelah Rosul menjawab, ia melanjutkan perkataannya, ‘ beritahu aku tentang ihsan’, Rosulullah SAW menjawab ‘ ihsan adalah hendaklah kamu beribadah seakan-akan kamu melihatnya, tapi jika kamu tidak bisa melakukan hal itu, maka sesungguhnya Allah melihatmu’ dan ia kembali membenarkan jawaban Rosulullah SAW…
Tidak lama setelah ia beranjak dari majelis itu, Rosulullah bertanya pada Umar ‘ wahai Umar tahukah engkau siapa laki-laki yang bertanya tadi ?, Umar pun menjawab ‘ Allah dan Rosulnya lebih tau, lalu Rosulullah menambahkan ‘ ia adalah jibril yang datang pada kalian untuk mengajarkan agama’. (imam nawawi, kitab al-arbaun an-nawawi, juz 1 hal 2).
Islam, iman dan ihsan, tiga pilar agama yang tidak sedikit dari umat islam yang telah mengetahui, bahkan mungkin jika ia ditanya saat baru bangun dari tidurnya, ia akan bisa menjawab, tapi begitulah, kendati tidak sedikit yang mengetahui, tidak sedikit juga yang terbiasa bahkan mengakar dalam setiap aktivitasnya.
Pernah suatu ketika Rosulullah SAW didatangi seseorang dari hadapan beliau, orang tersebut berkata “wahai Rosulullah apakah agama itu ?”, lalu Rosulullah menjawab “husnu al-kholq (baiknya perangai.red)”, kemudian dia datang lagi dari arah kanan Rosulullah dan menanyakan hal yang sama, lalu Nabi pun menawab dengan hal yang sama yaitu agama adalah baiknya perangai, bagitu juga saat orang itu mendatangi nabi dari arah kiri dan belakang Nabi. (abu nuhammad ibn Muhammad al-gozali, ihya’ ulumu ad-diin, hal 68 juz 3).
Ad-diinu khusnu al-khulq, agama adalah baiknya perangai, berdasarkan hadits yang dikutip oleh imam ghozali tersebut. dan saat jibril mengajarkakan agama kepada sahabat Rosulullah melalui Rosulullah, agama memilik tiga point penting yaitu islam, iman dan ihsan, terdapat kesesuaian yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap perjalanan umat muslim.
Terutama dalam masalah ihsan, ihsan merupakan kontrol dari pada islam dan iman, artinya dalam mengamalkan ajaran islam berdasarkan apa yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad, tidak dengan kemauan sendiri, dalam hal ini islam yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada aturan formal saja tapi lebih luas dari itu, apalagi dalam masalah iman yang merupakan hal mendasar yang harus dikuatkan.
Abu hamid Muhammad ibn Muhammad al-ghozali mengartikan ihsan sebagai khuluq atau perangai, arti dari khuluq merupakan kondisi jiwa yang tertanam dalam hati, kemudian melahirkan aktivitas horizontal dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran yang panjang. (Abu hamid Muhammad ibn Muhammad Al-ghozali, ihya ulumu al-din, jus III hal 68).
Ahmad bin Muhammad ya’qub al-rozi searah dengan pendapat beliau, beliau menyebutkan dalam kitab tahdzibu al-akhlaq wa thohiru al-aroq, bahwa akhlak dari akar kata khuluq atau kata lain dari ihsan menurut imam al-ghozali, merupakan keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa memerlukan pemikiran yang panjang.
Sebagaimana yang penulis katakan sebelumnya bahwa ihsan merupakan kontrol dalam setiap aktivitas, hasil dari pada ihsan, adalah profesional dalam mengerjakan aktivitas ibadah (bersama Allah atau bersama alam) sebagai manusia –yang hanya mempunyai kewajiban dan memiliki satu hak yaitu hak berdosa– juga akan memperhatikan hak-hak Allah, merasa dekat dengannya bahkan menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas. (syarh arba’in nawawiy, hadits ats-tsaniy).
Kenapa demikian ?, karena tuhan kita Allah, meliputi segala hal yang bersifat non fisik dan yang fisik dalam segala apapun atau segala keadaan apapun, maka siapapun yang sadar akan hal itu dan melihat bahwa itu akan berpengaruh pada dirinya, maka Allah akan menjaganya dari segala cobaan dan kejamnya fitnah, hal ini disebutkan dalam syarah al-hikam karya Abu madyan almaghribiy.
Oleh karena itu, Rosulullah SAW memerintahkan kita untuk bertaqwa di manapun kita berada, karena Allah melihat dimana kita berada dan apa yang kita perbuat, dalam surat al-alaq ayat 14, Allah berfirman ا لم يعلم بان الله يرى, akankah dia tidak tau kalau Allah melihat.
Kita kembali kepada ihsan, sadar akan ihsan –selalu berbuat baik karena Allah melihat kita–ini dalam segala aktivitas, baik aktivitas vertikal atau hubungan bersama Allah artinya dalam beibadah, maupun aktivitas horizontal atau interaksi dengan selain Allah, kedua hal ini baik dilakukan secara individu atau secara kelompok.
Hubungan atau interaksi bersama selain Allah atau horizontal ini banyak sekali dalam kehidupan kita, tidak hanya dalam beribadah antara sesama seperti menunaikan zakat yang sudah jelas-jelas ada dan dijelaskan ketentuannya dalam fiqh, tapi juga dalam segala hal yang berkaitan dengan sesama manusia atau makhluk yang lain.
Seperti dalam aktivitas politik, ekonomi, sosial, seni, dakwah, pendidikan, kehidupan elit dan non elit, juga dalam berinterkasi dengan alam seperti menghargai mekhluk hidup selain manusia, baik yang fisik atau yang non fisik dan lain sebagainya. (M. Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawwuf, hal 71).
Misal dalam interaksi dengan binatang, KH. Moh. Zuhri Zaini mencotontohkan saat kita akan menyembelih binatang kita diperintahkan; pertama dengan pisau yang tajam, agar supaya hewan yang kita sembelih tidak merasakan sakit yang berlarut-larut, kedua saat kita menyembelih usahakan di tempat yang hewan lain tidak melihatnya, karena kalau ada hewan yang melihat hewan yang kita sembelih, ia akan merasakan ketakutan, artinya kita menjaga perasaan hewan itu.
Ini ihsan dalam aktivitas yang berhubungan dengan binatang saja kita harus menjaga, apalagi dengan sesesama manusia, apalagi bersama Allah yang telah menciptakan kita, dalam surat al-hadid ayat 4 Allah berfirman “dan Allah bersama kalian dimanapun kalian berada, dan Allah melihat apa yangn kamu lakukan”.
Oleh karena itu Rosulullah SAW berdoa “ya Allah berilah aku petunjuk untuk memperbaiki perangai, karena tidak ada yang mempebrikan petunjuk untuk memperbaiki perangai kecuali engkau, dan palingkanlah dariku perangai yang buruk, karena tidak ada yang memalingkannya kecuali engkau” (al-imam abu hamid Muhammad bin Muhammad al-gozali, hal 70 juz 3).
Apa yang akan teradi jika kesadaran akan ihsan –Allah selalu bersama kita dan melihat apa yang kita lakukan –dan mengakar sehingga teraplikasi dalam aktivitas kita ?, tentu kehati-hatianlah dalam segala aktivitaslah yang akan muncul dan sesuai dengan aturan –syariat yang dibawa Nabi.
Jika kita tidak bisa memahami aturan yang terdapat dalam al-quran dan hadits, kita bisa mempelajari dalam karya ulama-ulama sholihin –ulama yang mengamalakan apa yang ia ketahui–, namun jika kita tidak bisa mempelajarinya, maka kita bisa dengan mendengarkan ulama.
Syaikh abu madyan al-maghribi menyebutkan dalam karyanya, beliau berkata dengarkanlah ucapan ulama, karena Allah SWT, mengalirkan sesuatu yang sesuai dengan kondisi manusia lisan ulama pada setiap zaman.
Mungkin untuk menerapkan ihsan dalam aktivitas kita sangat sulit jika kita terbiasa berbuat sesuatu sesuai dengan kemaun kita, namun ini memang butuh usaha dan kebiasaan, sehingga setelah terbiasa akan menjadi hal yang mengakar sehingga aplikasi ihsan bisa terlihat dalam perilaku, atau menjadi budaya dalam perilaku kita, ketika telah mengakar atau menjadi budaya dalam kehidupan kita, maka seakan tidak nyaman jika tidak berhati-hati dan sesaui dengan aturan.
Begitulah jika ihsan diperankan dalam aktivitas kehidupan, namun kenapa saat ini penulis mengatakan dalam paragraf awal bahwa tidak sedikit dari umat islam sendiri yang tidak menyertakan ihsan dalam segala aktivitas kehidupan, mari kita kaji bersama secara pelan-pelan.
Syariat atau aturan agama, sejak dulu sampai syariat terakhir ini memiliki visi yang sama yaitu at-ta’abbud atau beribadah kepada Allah sebagai hamba dan berakhlak baik kepada Allah, sesama manusia dan makhluk yang lain, dari syariat yang Allah berikan kepada Nabi nuh, ibrohim, musa, isa dan Muhammad, semua memiliki visi yang sama.
Kemudian Nabi Muhammad SAW yang merupakan Rosul terakhir bersabda انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق , aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia, artinya dalam syariat terdahulu akhlak atau berperilaku ihsan telah menjadi point paling urgen yang dibawa oleh para utusan, apalagi syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Lalu kenapa ihsan seakan ada namun tidak terlihat bahkan dianggap tidak ada oleh mayoritas umat islam ?, karena tanpa kita sadari, ketika kita mengkaitkan konsep agama-beragama atau ritual keimanan sebagai bagian dari rukun islam yang jauh dari ukuran moral yang cocok dengan mayoritas penghuni bumi.
Sehingga penilaian atas keagamaan seseorang hanya dilihat dari rukun islam atau aturan formal (yang meliputi membaca dua kalimat syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa di bulan romadhon, menunaikan ibadah haji), meski ia melakukan aktivitas sosial berupa ekonomi dan lain sebagainya.
Maka asy-syariah al-uluhiyah (halal dan harom) atau aturan dari tuhan dikacaukan oleh ; boleh dan tidak aturan wadh’i, amr al-ma’ruf nahy al-munkar tradisi masyarakat, dan baik-buruk aturan pribadi, ketika telah dikacaukan oleh hal-hal itu maka potong kuku di malam hari haram, musik dan seni pahat haram, suara perempuan haram, menguap haram, wajah perempuan haram bahkan semua yang tidak sesuai dengan tradisi masyarakat akan menjadi haram.
Kenapa anggapan demikian muncul ?
Kita kembali kepada syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yang terkaver dalam Al-quran lalu diperinci dengan hadits Nabi. Sebenarnya kedua itu telah mencakup ketiga hal yang urgen dalam agama; iman, islam dan ihsan atau akhlak.
Namun kedua hal itu diperinci lagi oleh ulama sehingga menjadi berjilid-jilad, dari karya yang berjumlah banyak itu kemudian diringkas oleh ulama yang lain sehingga menjadi (mukhtashor) ringkasan, dari ringkasan itu kemudian disyarahi atau dijelaskan lagi oleh ulama yang lain sehingga menjadi (syarah), begitu seterusnya.
Sehingga ritual agama menjadi sangat simple dan sederhana terbatas pada apa yang dijelaskan oleh ulam-ulama dan dengan adanya pemilahan dari syariat yang awalnya satu-kesatuan menjadi fokus keiluman aqidah, akhlak, fiqh, tasawwuf, tapi kita tidak bisa memvonis bahwa ulama bersalah, karena mereka majadikan demikian utntuk mempermudah dalam mempelajari syariat allah.
Karena sisi moral tidak disisipkan didalam nya, hanya berutmpu pada aturan-aturan formalitas atau amalan-amalan dzohiriah saja, sehingga dari situlah menyebar ke berbagai kalangan, dipelajari dan dipraktekkan oleh berbagai kalangan, kalangan pelajar, kalangan awam, dewasa atau anak kecil, dan lebih ironisnya hal ini diterapkan dalam keluarga yang merupakan lembaga pendidikan pertama.
Maka ketika seperti itu, jadilah meninggalkan puasa memiliki dosa yang lebih besar dari pada berbuat bohong, tidak menunaikan zakat lebih besar dosanya dari pada tidak membantu tetangga yang hidup melarat dalam kemiskinan.
Moral atau akhlaq atau ihsan bukan merupakan suatu yang harus menyesuaikan terhadap tradisi, namun tradisi lah yang harus menyesuaikan terhadap moral atau akhlak, karena moral merupakan suatu yang tetap sejak dulu, disamping itu moral besrsifat universal mengikat semua struktur masyarakat, situasi masyarakat, tradisi masyarakat dan mengikat satu personal dan komunitas.
Katika seperti itu, maka suatu keharusan untuk menerapkan moral dalam setiap perilaku manusia seperti yang penulis ungkapan diatas dan juga merupakan suatu keharusan untuk menjadikan moral atau akhlak atau ihsan sebagai kebiasaan dan selanujutnya budaya.
Berbeda dengan tradisi, yang memiliki sifat berubah-ubah dalam setiap waktunya, oleh karena tidak tetap, maka harus menyesuaikan akan moral atau akhlak atau ihsan, jika tidak maka bukanlah husnu al-khuluq (baiknya perangai) yang terjadi, tapi su’ul khuluq (buruknya perangai) lah yang terjadi dan mengakar dalam kehidupan.
Begitulah yang akan terjadi (atau yang telah terjadi hingga saat ini), maka ketika dipraktekkan maka akan menjadi tradisi yang buruk, selanjutnya menjadi suatu budaya yang akan dianggap suatu keharusan untuk melakukannya atau menjadi suatu keharusan untuk meninggalkannya.
Sehingga krisis moral akan mengalir menuju generasi muda, selanjutnya generas baru akan mengikuti budaya yang telah ada (yang seharusnya tak ada dan harus dihilangkan).
Semoga kita kita mendapat bimbingan oleh allah dalam menjalankan syariatnya baik dalam hubungan dengannya atau dengan mekhluknya, dan semoga dari generasi ke generasi selanjutnya juga mendapatkan petunjuknya. Amin ya robbal alamin. Wa Allahu A’lamu.
Ansori*