Sebagian ulama ahli tafsir menjelaskan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
Artinya ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya”. (Q.S. Ali Imran 102) ialah Allah SWT. itu ditaati, tidak boleh ditentang, selalu diingat, tidak boleh dilupakan, disyukuri dan tidak boleh diingkari.
Juga, sebagai penegasan kepada hamba-Nya yang beriman bahwa hidup ini tidak cukup hanya dengan iman, namun jika sudah beriman hendaklah orang-orang beriman itu bertakwa kepada Allah
Telah kita pahami melaui penjelasan pengasuh dalam kitab nashoih al-diniyah karya al-Habib Abdulloh bin Alawi al-Haddad, di beberapa pertemuan kemarin bahwasanya takwa ialah suatu ungkapan tentang melaksanakan segala perintah Allah SWT. dan menjauhi larangannya, baik dalam segi dhahir ataupun yang batin, dengan disertai rasa pengagungan kepada Allah SWT. dan rasa takut pada Allah.
Seorang muslim yang senantiasa mematuhi Allah, mensyukuri nikmat Allah dan selalu mengingat Allah SWT., maka berarti dia telah mentaati Allah SWT. sebagaimana mestinya. Inilah hakikat bertakwa kepada Allah SWT. dengan sebenar-benarnya takwa.
Pantaslah bilamana seorang hamba berhasil mengusahakan takwa, maka ia akan berpeluang besar untuk tidak menemui kematian kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah atau ia akan mati dalam keadaan beragama Islam, bukan mati dalam keadaan kafir.
Oleh karena itu, takwa menjadi sangat penting peranannya untuk seorang hamba, karena dengan predikat takwa itulah hamba tersebut akan menjadi makhluk yang paling mulia di sisi-Nya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”
Namun permasalahnnya adalah, apakah seruan ini sudah benar-benar kita laksanakan, kita wujudkan, kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari ? ataukah hanya diucapkan di lisan saja, atau hanya kata-kata belaka yang tak bermakna ?
Realitanya, kita sebagai sorang hamba yang bahkan dengan semua umur dan nyawa yang kita miliki, kita tidak akan pernah mampu untuk bertakwa dengan sebenar benarnya, meskipun ia menghabiskan semua waktunya untuk taat pada Allah SWT., hal ini karena hak dan keagungan Allah atas para hambanya sangatlah besar.
Kita sadari, kita bukanlah seperti malaikat yang ketika diperintahkan oleh Allah untuk beribadah kepada Allah, maka mereka akan terus melakukannya tanpa pernah merasa bosan.
Adapun manusia, maka ia adalah makhluk yang lemah, yang sering merasa bosan dalam beribadah kepada Allah walaupun kita tahu itu adalah maslahat atau kebaikan untuk kita, dan kita sering merasa tergoda untuk melakukan kemaksiatan walaupun kita tahu itu adalah mudharat atau keburukan untuk kita. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa hamba yang paling sempurna menunaikan hak Allah SWT. adalah baginda Nabi Muhammad SAW.
Nah, dalam kaitannya dengan ayat di atas tadi, seorang ulama berkata, sesungguhnya firman Allah yang berbunyi: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya” itu telah dihapus dengan firmannya :
فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (QS. At-Taghabun: 16).
Akan tetapi ada pendapat ulama lain mengatakan bahwa, ayat yang ke dua itu sebenarnya menjelaskan ayat yang pertama bukan menghapusnya, dan inilah pendapat yang benar. Insya Allah.
Dari ayat yang kedua ini ternyata terdapat beberapa faedah yang bisa kita petik hikmahnya antara lain:
Pertama, bahwa Allah tidak akan membebani kita dengan sesuatu di atas kemampuan kita. Pada hakikatnya ini termasuk salah satu kemurahan yang Allah berikan kepada kita. Jika kita diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan, maka ini adalah perbuatan kezaliman dan tidak mungkin Allah berbuat dzalim kepada para hamba-Nya.
Kedua, bahwa kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengerjakan apa yang Allah wajibkan kepada kita. Dalam artian, ketika Allah memerintahkan kita untuk mentaati perintah-Nya semampu kita, bukan berarti kita menjadi menganggap remeh sesuatu yang Allah perintahkan tersebut.
Justru sebaliknya, kita harus mengerjakannya semaksimal mungkin sesuai kemampuan terbaik kita. Karena Allah maha mengetahui apakah kita sudah berusaha maksimal dalam mengerjakan perintah-Nya atau masih setengah-setengah.
Ketiga, kita harus mengakui bahwa diri kita itu lemah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
يُرِيدُ اللَّـهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
Artinya :Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28).
WAllahu a’lam bisshawab.
*Penulis : Fatimah az-Zahro (Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid)