MahadAly.Enje – Al-Quran itu di zaman awal Islam ditulis seperti pada gambar ini, tanpa titik pada huruf-hurufnya dan tanpa harakat. Waktu itu, tanda baca belum dibuat karena memang tidak dibutuhkan. Orang bisa membaca tulisan Alqur’an dengan benar tanpa tanda baca karena bangsa Arab masih dalam habitat dan kebudayaan aslinya dan belum bersinggungan dengan dunia luar. Keadaan ini berlangsung hingga kira-kira pertengahan abad pertama hijriyah.
Kemudian, seiring ekspansi wilayah teritorial negara Islam, bangsa Arab mulai bersinggungan dengan bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa besar semisal Romawi dan Persia, dengan kebudayaan, peradaban dan bahasa masing-masing. Di sini mulailah muncul fenomena baru dalam bidang bahasa, yaitu banyaknya warga Arab yang tidak lagi menguasai kaidah-kaidah bahasanya sendiri. Tak bisa dihindari, Alqu’ran pun kecipratan ekses negatifnya. Kerap terjadi kasus di mana orang salah membaca ayat Alqur’an. Hal ini menggugah keprihatinan beberapa tokoh Islam, terutama yang pememelih rhadap kelestarian bahasa Arab sebagai bahasa Alqu’ran.
Sejarah kemudian mencatat nama-nama besar semisal Abu al-Aswad al-Dualy yang pada tahun 67 H meluncurkan tanda baca harakat dan sukun untuk Alqu’ran. Awalnya, tanda-tanda itu sederhana saja, hanya berupa titik-titik dengan ketentuan sebagai berikut:
- Titik di sebelah kanan atas adalah tanda fathah
- Titik di sebelah kiri atas adalah dhammah
- Titik di bawah adalah kasrah
- Tanpa titik artinya sukun
- Adapun tanwin ditandari dengan titik dobel.
Sederhana tetapi sangat efektif memudahkan orang membaca Alqur’an dengan benar. Sebelum ditemukannya tanda baca ini, seseorang tidak bisa membaca dengan benar kecuali setelah paham makna kata yang bersangkutan dan i’rabnya. Jadi, adanya tanda baca ini memberikan manfaat ganda :
pertama, manfaat bagi pembacanya, yaitu bisa membaca dengan benar tanpa terlebih dahulu harus memeras otak untuk memahaminya.
kedua, manfaat bagi Alqu’ran itu sendiri, yaitu terpelihara dari kesalahan, penyimpangan dan bahkan kepunahan.
Saya yakin, itulah cara Alllah dalam memelihara Kitab-Nya sebagimana Dia janjikan dalam QS. Al-Hijr : 9
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ [الحجر: ٩]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alqur’an dan sesungguhnya Kami-lah yang menjaganya.”
Artinya, Allah gerakkan hati hamba-hamba-Nya untuk berselancar dalam upaya-upaya intensif dan berkesinambungan untuk meemelihara Kitab-Nya.
Sepeninggal Al-Dualy, langkah demi langkah penyempurnaan terus dilakukan dari masa ke masa. Di awal abad kedua Hijriyah, Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidy menawarkan tanda baca baru yang lebih memudahkan lagi, yaitu berupa:
- Alif kecil miring di atas huruf untuk fathah,
- Wawu kecil di atas huruf untuk dhammah,
- Alif kecil miring di bawah huruf untuk kasrah,
- Kepalanya huruf ح atau bundaran kecil untuk suku dan,
- Tanwin dengan dobel tanda.
Hingga abad moderen ini pun tak henti-hentinya para pemerhati Alqur’an berkreasi aktif untuk berkhidmah kepada Kitab Allah dan sekaligus kepada agama ini, jazahumullahu khairan katsiran, amien.
*sumber gambar : islami.co
Penulis : Kh. Zainul Mu’in Husni (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid).