Dalam kehidupan sehari-hari, kata Barokah atau Berkah sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Menurut bahasa, berkah berasal dari bahasa Arab: barokah (البركة), artinya nikmat (Kamus Al-Munawwir, 1997:78). Istilah lain berkah dalam bahasa Arab adalah mubarak dan tabaruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Para ulama juga menjelaskan makna berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, dan usia. Sementara arti bebasnya adalah nilai plus pada, untuk, bagi siapa yang dikehendaki Allah di antara hamba-hambanya, baik langsung atau melalui perantara, sebagai karunia dan rahmatnya-Nya dan diluar rasio kebanyakan orang.
Barokah hanya bersumber dari Allah. Selain Allah tidak ada yang memiliki barokah. Sementara jika ada sebagian masyarakat meyakini bahwa sesuatu (benda/ barang), manusia (seseorang), tempat dan waktu tertentu mempunyai barokah adalah keyakinan yang salah. Barokah itu tidak bersumber dari hal-hal tersebut, hanya saja Allah menyampaikan keberkahan-Nya melalui benda-benda tersebut.
Terbukti para Sahabat Rasulullah dulu mengambil dari sisa-sisa air wudlu beliau, juga sisa potongan rambut beliau. Dan begitu juga pada tempat-tempat yang dianggap keramat oleh banyak orang, misalnya makam wali, masjid, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dan tempat hanyalah sebagai perantara sampainya barokah.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Allah akan memberikan keberkahan-Nya kepada hamba, tempat, dan benda yang dikehendaki-Nya. Ini tentu pada hamba yang taat dan senantiasa menjauhi larangan-larangan-Nya. Seperti para Nabi, auliyaullah (kekasih Allah), dan ‘ibadurrohman (orang-orang solih). Mereka adalah orang-orang yang diberkahi oleh Allah dan mereka juga sebagai penyalur sampainya barokah kepada hamba-hamba yang lain. Tidak heran, jika sebagian masyarakat dan santri sangat ta’dzim dan segan kepada kiai karena mereka berharap agar mendapat barokah melalui perantaranya.
Salah satu tempat yang banyak diasumsikan berdomisilinya barokah adalah Pondok Pesantren. Mereka yang ‘nyantri’ meyakini adanya barokah yang akan diperoleh tatkala ia mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Kiai. Maka dari itu, tidak jarang sebagian santri berasumsi barokah akan diperoleh apabila taat dan rela membantu kiai. Ketaatan dan kerelaan ini biasanya mereka ekspresikan dengan kesiapannya bekerja di pondok pesantren.
Namun demikian, yang menjadi problem saat ini sebagian dari mereka berasumsi bahwa barokah hanya akan diperoleh jika bekerja dan bekerja. Ironisnya, sebagian dari mereka lupa dengan kewajibannya yang harus dilakukan. Asumsi ini tentu kurang tepat, karena hakikat dari barokah itu sendiri adalah bertambahnya kebaikan.
Sementara jika dengan bekerja malah akan membuat kewajiban-kewajiban yang lain terlantar, maka hal yang demikian bukanlah menambah kebaikan, akan tetapi menjerumuskan pada hal-hal yang tidak dinginkan oleh Pondok Pesantren. Apalagi kita tidak tahu, dari amal kita yang mana barokah itu didatangkan, karena tidak ada seorangpun yang menegetahui, kapan dan lewat perantara apa atau siapa barokah itu Allah berikan. Hanya Allah yang tahu. Wallahua’lam!
*Nurul Imamah
Musyrifah Ma’had Aly Nurul Jadid
Marhalah I’dadiyah