Qiyas merupakan salah satu sumber hukum dalam ajaran Islam, ia berada di urutan keempat setelah al-Qur’an, Hadis dan Ijma’.
Qiyas, kata Abdul Wahab Khallaf, adalah
الحاق واقعة لا نص على حكمها بواقعة ورد نص بحكمها فى الحكم الذى ورد به الناس لتساوى الواقعتين فى علة هذا الحكم
Artinya: “menganalogikan sebuah peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash hukumnya. Karena adanya kesamaan illat hukum keduanya”.
Dengan demikian, qiyas tidak dapat mencetuskan sendiri, ia masih di sandarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
Namun meski demikian, kehujjahan qiyas tidak dapat di ragukan lagi, karena ia mendapat dukungan penuh dari al-Qur’an, Hadis, ijma’ dan para pahabat. Setidaknya ada 3 ayat al-Qur’an dan 2 hadis nabi yang melegitimasi terhadap kerja-kerja qiyas dalam menyelesaikan promblematika umat Islam.
Meski qiyas di termasuk mashadir ahkam (sumber-sumber hukum) yang muttafaq alaih ( di sepakati ) tapi masih ada saja ulama’ yang mengingkari kehujjahan qiyas tersebut. menurut mereka, menggunakan qiyas sama halnya telah membuat hukum sendiri, hukum yang tidak pernah di singgung oleh Allah SWT selaku pensyari’ (pembuat syariat). Salah satu di antara mereka adalah Madzhab Dhahiri.
Mereka berkata, “Barang siapa yang telah melakukan qiyas maka dia sungguh telah membuat syariat dan memunculkan hukum baru dari sesuatu yang belum pernah di singgung. Contoh-contoh yang mereka ( pendukung qiyas) hadirkan dapat dengan mudah diatasi tanpa qiyas” ucapnya.
Jumhur ulama’ sebagai pendukung garis depan qiyas tentu tidak sepakat dengan statement diatas. Menurut mereka, qiyas telah sejalan semangat syariah, mereka berkata;
“kita, kata jumhur ulama’, mengqiyaskan minuman keras, sabu-sabu, pil ekstasi dan semacamnya kepada khomer karena sama-sama memabukkan. Jadi, sesuatu yang memabukan juga haram.”
Sebab khomer menurut bahasa adalah sari anggur, dengan begitu minuman keras seperti wiski yang terbuat dari ekstrak bawang, sampaye dari sari apel, sabu- sabu dan pil ekstasi dari daun narkoba jika di tinjau dari segi bahasa tidak dapat di katakan khomer meskipun memabukkan.
Akan tetapi, barang-barang diatas mempunyai titik persamaan yang mempertemukan kesemuanya, yakni “memabukkan”. Inilah yang membuat jumhur ulama’ dengan mantap menganalogikan wiski, sampaye, narkoba dll (far’) kepada khomer (asl) karena adanya kesamaan sifat memabukkan (illat)
Para penolak qiyas membantah jawaban mereka, seraya berkata, “Qiyas kalian itu, tidak di butuhkan, sebab Rasulullah telah bersabda, ‘Setiap hal yang memabukkan adalah khomer dan setiap khomer hukumnya haram,’ Dengan sabda ini, khomer mempunyai cakupan lebih luas dalam istilah syara’ daripada makna bahasa. Tegasnya apa yang telah di sebutkan mereka (jumhur ulama’) sebenarnya telah tercakup dalam definisi khomer menurut syara”.
Bagitu juga dalam kasus memakan harta anak yatim yang dalam al-Qur’an yang telah di nashkan oleh
Allâh Azza wa Jalla dalam firmannya;وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. [Al-An’âm/6: 152 dan Al-Isra’/17: 34]
Manakala Allah menjadikan seseorang sebagai pengelola harta anak yatim, apakah boleh bagi si pengelola menikmati harta tersebut sampai habis, sehingga saat dewasa anak yatim terlunta-lunta? Tentu, jawabannya, Allah melarang keras akan hal itu.
Lalu bagaimana kalau misalnya si pengelola membagikannya kepada sanak keluarganya atau harta anak yatim itu di buang atau di bakar? Apakah hal itu juga di larang oleh Allah? Tentu, jawab jumhur, karena ada kesamaan illat di situ yakni si anak yatim “sama-sama tidak menerima manfaat dari hartanya”. Inilah yang melatarbelakangi larangan mendekati harta yatim dengan tidak makruf.
Sekali lagi, Para penolak qiyas menolak proses qiyas dalam kasus ini, menurutnya, memakan adalah ungkapan bahasa Arab berarti merusak harta. Oleh karenanya larangan diatas bukanlah larangan memakan harta anak yatim saja tapi lebih luas dari itu, yakni melenyapkan. Sehingga, perbuatan apa saja yang dapat melenyapkan harta si anak yatim di hukum haram termasuk membakar, membuang atau memakannya.
Meskipun dalam dua kasus diatas antara dua kubu, pendukung dan penolak qiyas menghasilkan natijah ( kesimpulan) yang sama. tetapi pendapat jumhurlah yang berada dalam kaidah-kaidahnya lebih kokoh.
Okelah! dua kasus di atas memperoleh natijah (kesimpulan) yang sama, tapi belum tentu dalam kasus lainnya, misalnya, penentuan ranah riba, jumhur ulama’ memperluas cakupan barang ribawi sedangkan penolak qiyas semisal Madzhab Dhahiri membatasi pada 6 komoditi saja yang ada dalam hadis.
Tanpa qiyas, syariat Islam akan kaku, tidak dapat mengakomodir masalah-masalah keagamaan kekinian (masail diniyah al-waqiiyah) sehinnga dapat di pastikan akan banyak permasalahan yang mengalami kekosongan hukum (maskut alaih). Jika demikian Yang terjadi makan syariah Islam tidak sholihun fi kulli zamanin wa makanin, adaptif dalam semua waktu dan tempat.
#Di sarikan dari Tarikh Ushul al-Fiqh li Syekh Ali Jum’ah dengan pengeditan dan penambahan di sana-sini.
Penulis : Ahmad Qusyairy as- Salimy (Dosen Mahad Aly Nurul Jadid)
