Dalam sejarah intelektualisme pesantren, pernah berdiri sederet “tokoh bersarung”, namun intelektualitasnya masuk dalam ranah internasional dan menjadi guru besar di Haramain (Makkah-Madinah). Sebut saja, misalnya, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Mahfudz At Tarmasi, Syaikh Yasin Al Fadani, dan lain sebagainya. Para tokoh yang sering disebut “bapak pesantren” ini tidak hanya diakui kualitas intelektualnya di Nusantara, namun juga di mancanegara. Bahkan, terkhusus syaikh Nawawi, namanya diabadikan di dalam kamus Al Munjid sebagai salah satu dari dua tokoh Indonesia yang ketokohan dan kepopuleraannya setara dengan tokoh tokoh dunia lainnya.

Nama syaikh nawawi banten sudah tidak asing lagi di kalangan umat islam Indonesia, bahkan kebanyakan orang menyebutnya sebagai imam Nawawi kedua. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama’ besar pada abad ke 14 H/19M. karena kemasyhurannya, beliau mendapat gelar Sayyid Ulama’ Al Hijaz, al imam Al Muhaqqiq Wa Al Fahamah Al Mudaqiq, A’yan Ulama Al Qarn Al Ram Asyar Li Al Hijrah, dan Imam Ulama Al Haramain. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad Bin Umar Bin Arbi Bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Beliau lahir di kampung Tanara (sekarang masuk kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten), pada tahun 1813 M atau 1230 H.

Ayah beliau bernama Kiyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1), yang bernama Sunyara Ras (Tajul Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui imam Ja’far Assiddiq, imam Muhammad Al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husain, Siti Fatimah Azzahra.

Pada usia 5 tahun syaikh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Ketika usia 8 tahun, anak  pertama  dari 7 bersaudara itu mulai pengembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya.

“Aku doakan dan kurestui dirimu pergi mengaji, tapi jangan pulang sebelum kelapa yang kutanam ini tumbuh dan berbuah.”

Dan beliaupun menyanggupinya. Akhirnya beliau berangkat untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim, yaitu menuntut ilmu. Setelah 3 tahun di Jawa timur, beliau bersama 3 temannya dari Jawa Timur pindah ke salah satu pondok pesantren di daerah Cikampek, Jawa Barat, khusus belajar lughah.

Namun, sebelum diterima di pondok pesantren tersebut, mereka harus melewati rangkaian tes. Ternyata Syaikh  Nawawi beserta 3 temennya dinyatakan lulus. Tetapi, menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengulangi mondok.

“Nawawi, kamu harus pulang, karena ibumu menunggumu dan pohon kelapa yang ibumu tanam sudah berbuah.” Terang sang kiyai tanpa menerangkan darimana beliau tahu tentang hal tersebut.

Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya untuk mengasuh pondok pesantren yang dirintis oleh ayahnya. Di usia yang relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya, dan namanya terkenal dimana mana. Mengingat semakin banyaknya santri yang berdatangan, beliau akhirnya berinisiatif  untuk pindah ke daerah Tanah Pesisir.

Pada usia 15 tahun, beliau mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Disana beliau memanfaaatkan waktunya untuk belajar beberapa cabang ilmu, diantaranya adalah ilmu kalam, bahasa dan sastra arab, ilmu hadist, tafsir dan ilmu fiqih. Setelah 3 tahun belajar di mekkah, beliau kembali ke daerahnya pada tahun 1833 M dengan ilmu yang relatif  cukup untuk mengajar para santri.

Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau kembali berangkat ke mekkah karena impian beliau untuk bermukim dan menetap disana. Di Mekkah beliau melanjutkan belajar ke guru guru beliau yang terkenal. Pertama kali, beliau mengikuti bimbingan dari syaikh Khotib Sambas (penyatu thariqat qodiriyah wa naqsyabandiyah di Indonesia) dan syaikh Abdul Ghani Bima , salah satu ulama’ Indonesia yang menetap disana. Setelah itu beliau belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang keduanya menetap di Mekkah.

Sedangkan di Madinah, beliau belajar pada syaikh Muhammad Khatib Al Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M, beliau mulai mengajar di Masjidil Haram. Prestasi mengajar beliau cukup memuaskan, karena kedalaman ilmu agama beliau, beliau dapat tercatat sebagai syaikh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukan beliau bertambah karena menulis kitab. Inisiatif menulis kitab, banyak datang dari desakan sebagian kolega beliau dan para sahabat beliau di Jawa. Kitab-kitab yang ditulis beliau kebanyakan berupa komentar (syarh) dari kitab-kitab ulama’ terdahulu yang populer dan dianggap sulit difahami.

Dalam menyusun karyanya, syaikh  Nawawi selalu berkonsultasi dengan para ulama’ besar lainnya. Sebelum dicetak, naskahnya lebih dulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke penjuru dunia karena mudah difahami dan isinya padat. Diantara kitab-kitab kaarangan beliau antara lain, al tsamar al yani’ah syarah al riyadhul badi’ah, sullam al munajah syarah safinah al sallah, al aqd al tsamin syarah fath al muin, lubab al bayan fi ilmi al bayan dan lain sebagainya.

Syaikh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama’ kenamaan dan tokoh-tokoh Nasional Indonesia. Diantaranya adalah syaikh Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, KH Asy’ari Bawean, KH Tubagus Muhammad Asnawi, KH Tubagus Bakri, dan KH Abdul Karim Banten.

Pada tanggal 25 syawal 1314 H, syaikh Nawawi menghembuskan Nafas terakhir di usia 84 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di ma’la kota Mekkah, dekat makam Siti Khadijah, Ummul mukminin, istri rasulullah SAW.

Sebelum Syaikh Nawawi meninggal, beliau sempat berpikiran bahwa ketika orang kafir menjadi penjajah atau berbuat zhalim, maka orang islam tidak boleh behubungan dengan mereka. Namun sebaliknya, jika orang kafir tersebut tidak menjajah, maka orang islam boleh berhubungan dengannya untuk meraih kebaikan dunia.  Karena menurut beliau, semua umaat manusia itu saudara, meskipun ia kafir.

Semoga kita dapat meniru kerendahan hati dan kegigihan beliau dalam menuntut ilmu.

(Murtia Rohmah, Mahasantri Semester 2)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?