Sebut saja namanya Muhammad, pemuda pesisir yang berprofesi sebagai nelayan, setiap hari ia melaut untuk menangkap ikan. Hasil tangkapan ikannya ia jual ke pasar terdekat. Tapi hari itu, Muhmmad tidak menjualnya ke pasar, pasalnya Pak Hasan tetangga dekatnya berminat mau membelinya. Setelah saling tawar-menawar, akhirnya mereka berdua sepakat untuk meluzumkan (melanjutkan) jual belinya. Muhammad menyerahkan ikannya kepada Pak Hasan. Begitu pula sebaliknya, Pak Hasan menyerahkan uang kepada Muhammad.

Dari sekian kilo ikan yang Pak Hasan beli, sebagiannya di budidayakan di kolam yang berada di belakang rumahnya. Setelah sekian bulan, ikan yang di budidayakan Pak Hasan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, dari lima 50 ekor berkembang menjadi 100 ekor dari satu kolam menjadi dua kolam.

Dua kolam ikan tersebut rencana akan di buat hidangan saat acara maulid nabi di rumahnya. Namun takdir berkata lain, satu bulan sebelum maulid Pak Hasan meninggal dunia karena beberapa penyakit yang sudah lama di deritanya. Otomatis semua harta yang di miliki Pak hasan di wariskan kepada ahli warisnya.

Dari cerita diatas ada empat sebab kepemilikan. Pertama, cara Muhammad memperoleh “pemilikan” ikan dalam fiqih di istilah kan dengan ihrazul mubahat. Kedua, cara Pak Hasan memperoleh kepemilikan ikan di sebut al-aqdu (akad) atau transaksi. Ketiga, Kepemilikan Pak Hasan terhadap anak-anak ikan dari ikan yang di milikinya di sebut tawallud min al-mamluk. Keempat, dan ini sebab kepemilikan yang terakhir yaitu saat ikan-ikan tersebut “jatuh” ke tangan ahli warisnya Pak Hasan sebab kepemilikan yang keempat ini namakan al-khalafiyah. Jika penjelasan diatas kurang cukup, jawaban lebih detail nya bisa kita lihat melaluin uraian sebagai berikut:

Ihrazul Mubahat (memiliki benda yang boleh di miliki)
Ikan – ikan yang ada di laut tidak ada yang memiiki, jadi siapa saja boleh menangkap dan memilikinya. Jadi setelah ikan – ikan itu di tangkap oleh muhammad sebagaimana cerita di atas maka hasil tangkapan tersebut secara otomatis menjadi milik muhammad. Nah, jalan kepemilikan yang demikian itu dinamakan dengan ihrazul mubahat.
Kata Ihrazul mubahat terdiri dari dua kata yakni ihraz yang berarti memperoleh dan mubahat bermakna sesuatu yang di perbolehkan.

Maksudnya, menguasai/memiliki benda-benda yang boleh di miliki dan belum di miliki oleh siapapun. Barang tersebut bebas dan siapa pun berhak mendapatkannya. Tegasnya Ihrazul mubahat itu adalah menguasai harta yang tidak bertuan. Pertanyaannya sekarang, apa kriteria barang yang boleh (mubah) dimiliki (tamalluk) ?

Hasby ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Fikih Muamalah menjelaskan bahwa barang yang mubah itu ialah:

المال الذي لم يذخل في ملك محترم ولا يو جد مانع شرعي من تملكه

“Harta yang tidak masuk ke dalam milik yang muhtarom (kepemilikan yang sah) dan tidak di temukan penghalang syar’i dalam kepemilikannya”

Dari ta’rif (definisi) di atas dapat di pahami bahwa harta mubah memiliki dua syarat : belum di miliki orang lain dan tidak ada larangan dalam syariat contohnya seperti ikan laut yang di tangkap oleh Muhammad. Contoh lain adalah burung yang berkeliaran di alam bebas.

Keabsahan tamalluk (memiliki) dengan ihrazul mubahat harus melalui dua syarat; belum di kusai orang lain terlebih dahulu dan bermaksud atau sengaja memiliki. Baik, kita rinci satu persatu.

Pertama, Belum di kuasai orang lain.

Ada sebuah kaidah yang berbunyi begini:

من سبق إلى مباح فقد ملكه

“Barangsiapa mendahului kepada sesuatu yang mubah maka ia sungguh telah memilikinya”

Seumpanya kata Hasbi ash-Shiddieqi sesorang mengumpulkan air hujan dalam satu wadah dan di biarkan, tidak di angkat ke tempat yang lain, maka orang lain tidak boleh mengambilnya begitu saja lantaran telah di kuasai oleh seseorang. Dengan kata lain, orang lain telah mendahului untuk memilikinya.

Kedua, bermaksud untuk memiliki (maksud tamalluk). Ia memang sengaja untuk memiliki, maka konsekwensinya jika ia mendapatkan benda mubah tapi dengan tanpa sengaja maka benda tersebut bukanlah miliknya. Misalnya si A meletakkan jaring di depan rumahnya untuk sekedar mengeringkannya, tak di nyana ada burung terperangkap di jaring tersebut maka, pemilik jaring bukanlah pemiliknya, pemiliknya adalah orang yang menemukan dan mengambilnya, baik pemilik jaring maupun orang lain. Dialah muhriz (orang yang memperoleh kepemilikan) sebenarnya.

Al-uqud (beberapa akad)
Uqud merupakan bentuk plural (jamak) dari lafadz akad. Akad secara bahasa naqid al-halli (kebalikan terlepas) artinya terikat. Sedangkan secara istilah ulama’ fikih akad adalah:

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله

“Pertalian ijab dan qobul sesuai kehendak syara’ yang berpengaruh kepada objek perikatan”

Kata-kata “sesuai dengan kehendak syariat” mengharuskan semua akad sejalan dengan syariat jika tidak, maka akadnya di anggap tidak sah, seperti transaksi riba misalnya. Adapun pencantuman kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan” makanya adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lain (Nasrun Haroen: 2007)

Akad dalam islam beraneka ragam bentuknya, seperti ba’i, hibah, shulu, qard, rahn, wakalah dll. Akan tetapi jika di tinjau dari segi tujuannya secara garis besar di bagi menjadi Lima golongan antar lain (Hendi Suhendi:2011)

  1. Tamlik (Kepemilikan) seperti jual beli (ba’i) Dan hibah (pemberian)
    2. Usaha bersmasam seperti mudhorobah
    3. Taustiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn (gadai)
    4. Menyerahkan kekuasaan seperti wakalah (perwakilan)
    5. Pemeliharaan seperti titipan

Dari kelima golongan di atas, hanya akad-akad yang menyebabkan kepemilikan saja yang di maksudkan dalam pembahasan ini.

Tawallud min al-Mamluk (lahir/timbul dari benda yang di miliki)
Selanjutnya, saat ikan yang di pelihara Pak Hasan ber-anak pinak, maka secara otomatis pernakan tersebut menjadi milik pak hasan. Sebab kepemilikan ini dalam islam di sebut tawallud mina al-mamluk (timbul/lahir dari benda yang di miliki). Kepemilikan dengan tawallud tidak berlu adanya akad ia secara otomatis menjadi milik orang yang memiliki benda. Contoh lain seperti buah menjadi milik pemilik pohon, bulu domba menjadi miliki pemilik domba dan lain sebagainya

Al-Khalafiyah
Hasby Ash-Shidiqi mendefinisikan khalafiyah sebagai:
حلول شخص او شيئ جديد محل قديم زائل في حقوقه

“Menggantikannya seseorang atau sesuatu yang baru di tempatnya yang lama yang telah hilang hak haknya”

Seperti contoh diatas, si ahli waris menggantikan posisinya hasan (muwarris) dalam penguasaan tirkahnya (harta yang di tinggalkan mayyit). Adapun tatacara pembagiannya dalam islam di atur secara khusus bahkan menjadi fan ilmu tersendiri yang di sebut ilmu faroid. Irst (warisan) bukanlah satu-satunya contoh dari khalifiyah, karena khalifiyah sendiri ada dua macam; khalafiyah sykhsy an syakhsy kata lain dari waris dan khalafiyah syai’ an syai’ dan ini bisa di sebut dengan tadlmin (tanggungan) berikut penjelasannya lengkapnya.

Apabila ada seseorang yang mengghasob katakanlah sandalnya si zaid. kemudian sandal tersebut rusak maka si pengghashob wajib menggantinya. Nah kepemilikan zaid terhdap sandal baru tersebut melalui jalan khalafiyah yang mana sandal baru menggantikan sandal lama.

Demikianlah penjelasan yang lumayan panjang terkait sebab kepemilikan dalam syariat islam.

Oleh: Ahmad Qusyairi As-Salimy (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid)

 

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?