Siapa sih, yang tidak ingin terkenal? Mungkin hanya segelintir orang yang menjawab “Saya”. Rasa ingin terkenal itu merupakan sifat manusiawi yang memang ada pada diri manusia dan disukai oleh hawa nafsu. Cinta kedudukan dan senang ketenaran merupakan sikap yang bertentangan dengan sifat kehambaan (‘ubudiyah). Oleh karena itu, kita perlu mengetahui “efek samping menjadi terkenal”.
Syekh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari dalam syarah Al-Hikam, berkata:
إِِدْفَنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ, فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَائِجُهُ
“Pendamlah eksistensimu di tanah kerendahan. Sebab sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam, tidak akan sempurna hasilnya.”
Lafadz الخمول berarti jatuhnya kedudukan di mata masyarakat (penyamaran).
Dari hikmah tersebut, dapat kita ketahui bahwa dengan menampakkan eksistensi, tidak akan sempurna hasilnya. Sebab dapat mengurangi nilai pahala, lebih-lebih pahala keikhlasan. Jika kita telah mengubur diri di bumi penyamaran (أرض الخمول), maka saat itulah kita akan memetik hasil yang sempurna, yakni rahasia keikhlasan. Semakin tinggi penyamaran kita, maka semakin tinggi pula maqam keikhlasannya.
Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh guru kita, KH Wahid Zaini, ketika beliau pergi ke suatu tempat, beliau melakukan penyamaran. Tidak menampakkan jiwa ke-kiaiannya.
Rasulullah SAW bersabda:
رُبَّ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ، ذِي طِمْرَيْنِ ، تَنْبُو عنه أَعْيُنُ الناسِ ، لو أَقْسَمَ على اللهِ لَأَبَرَّهُ فِي قِسْمِهِ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ)
“Banyak sekali orang yang tidak terawat rambutnya, kotor wajahnya, mengenakan dua pakaian usang, tidak enak dipandang mata, tapi seandainya dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah melaksanakan sumpahnya.” (HR. Hakim)
Jadi berapa banyak hamba Allah diluar sana, yang sekalipun tidak dikenal di mata masyarakat, tapi sangat dikenal baik oleh tuhannya.
Segala sesuatu yang mengarah pada ketenaran dan kemasyhuran itu termasuk sesuatu yang menyebabkan cacatnya keikhlasan seorang hamba. Jika keinginan nafsu telah mengajak untuk menjadi orang yang masyhur dan dikenal mayarakat, maka saat itu pula nafsu akan mendorong dirinya untuk menarik hati masyarakat agar menghargai dirinya. Secara tidak langsung, sifat riya’ sudah memasukinya dengan bentuk yang tidak diketahui wujudnya.
Sebagaimana perkataan Syekh Ibnu ‘Athaillah: Terkadang riya’ itu datang kepadamu dimana masyarakat tidak melihatmu (di saat kamu sendirian).
*Nurul Makkiyah, Mahasantri Semester Lima Ma’had Aly Nurul Jadid