“Alhamdulillah” merupakan kalimat yang sangat mulia yang patut dijaga, karena tak jarang sebagian orang belum bisa menempatkan kalimat Alhamdulillah pada posisi yang semestinya sehingga mereka tidak bisa mencapai kepada maksud dan hakikat dari kalimat tersebut.

Dikisahkan bahwa seorang Ulama’ besar yang bernama as-Sariyyu as-Saqhathiy pernah ditanya;

bagaimana bisa mengerjakan ketaatan itu merupakan suatu kewajiban?

Kemudian Beliau menjawab: sesungguhnya, semenjak 30 tahun aku senantiasa memohon ampun kepada Allah SWT. karena lisanku pernah melakukan kesalahan hanya dengan satu kali ucapan “Alhamdulillah”.

Maka kemudian dikatakan kepada beliau; apa maksud dari ucapanmu?,

Beliau lalu menjawab: suatu ketika di kota Baghdad terjadi kebakaran yang sangat dahsyat, banyak pasar, toko dan kedai yang terbakar hangus, kompleks pemukiman penduduk pun juga habis dilahap api dan tak lama kemudian sebagian dari penduduk meng informasikan kepadaku bahwa toko yang aku miliki tidak terbakar lalu aku meresponnya dengan kalimat “Alhamdulillah”, seketika aku mulai menyadari bahwa makna dari ucapanku adalah suatu bentuk kebahagiaan dan rasa senang karena toko atau kedaiku itu tak ikut terbakar alias masih utuh padahal dalam kondisi yang terbalik 360 derajat orang-orang di sana sedang meratapi nasib dan dilanda mendung kesedihan karena kehilangan pasar, toko dan kedai mereka dan jelas bahwa hak dalam agama dan marwah (muru’ah) seharusnya aku tidak boleh berbahagia sebab hal itu. Oleh karena hal inilah aku ber istighfar semenjak 30 th lamanya karena ucapan “Alhamdulillah” yang keluar dari lisanku.

Maka, dengan kisah ini seyogyanya menjadi sebuah pelajaran, perenungan dan introspeksi bahwa sesungguhnya kalimat ini sekalipun mempunyai kadar kemuliaan dan keagungan akan tetapi dalam sisi lain kita wajib menjaganya dengan menempatkan pada posisi yang semestinya.

Penting pula diketahui bahwa nikmat yang diberikan Allah SWT. terhadap hamba Nya sangat banyak. Akan tetapi, memandang dari sisi afdloliyyah (keutamaan), nikmat terbagi menjadi dua macam yaitu nikmat duniawi dan nikmat agama dan sudah pasti nikmat agamalah yang lebih utama dari pada nikmat dunia dengan sudut pandang yang sangat banyak.

“Alhamdulillah” merupakan kalimat yang sangat mulia, oleh karena itu maka menjadi wajib bagi setiap orang yang berakal untuk mengagungkan dan memuliakan kalimat ini dengan tidak mengucapkannya berbanding dengan kenikmatan yang sifatnya duniawi, bahkan wajib bagi untuk tidak mengucapkan kalimat ini melainkan ketika mendapat nikmat-nikmat agama.

Kemudian, nikmat agama terbagi menjadi dua yaitu ‘amalnya anggota badan dan ‘amalnya hati dan macam kedua ini yang lebih mulia. nikmat dunia juga terbagi dua macam yaitu pertama nikmat yang hanya dipandang sebagai nikmat belaka dan nikmat yang dipandang sebagai sebuah pemberian dari Sang Pemberi nikmat yaitu Allah SWT. dan yang kedua inilah yang lebih mulia. Inilah beberapa maqom (kedudukan) nikmat yang wajib diperhitungkan oleh seorang hamba sehingga pengucapan kalimat “Alhamdulillah” sesuai dengan posisi dan sebabnya.

Disarikan dari kitab tafsir surah al-fatihah karya Syekh Ahmad bin Asymuni. 

Sumber gambar : aktual.com

Oleh : Ust. Alfam Jamil, S. E. (Musyrif Ma’had Aly Nurul Jadid).

 

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?