Dimintai tulisan oleh anggota redaksi koran di pondok, saya cukup bingung mau menulis apa. Katanya, sebagai hasil ke jogja mengikuti acara yang diadakan Oleh puslitbang diklat kemenag RI 2020 lalu pada rabu-jumat (13-15/10). Saya mau menulis apa? Sedang bayangan utama pergi ke Jogja adalah jalan-jalan saja.
Meskipun begitu, Ketika di dalam kereta, sesekali muncul pikiran, “apa yang saya bawa nanti sepulang acara ini?, agenda apa yang harus dicanangkan untuk membawa perubahan yang lebih baik untuk ma’had aly Nurul jadid?.” karena memang sebelum berangkat, ust. Suli menyuruh saya untuk minta didoakan temen-temen supaya lancar dan menjadi penelitian terbaik. Acara di Jogja telah usai, saya masuk lima besar, kabarnya setelah revisi penelitian akan ada pemilihan penelitian terbaik. Entahlah, benar tidaknya, yang jelas saya harus memperbaiki KTI yang mungkin para jurinya ngatuk dan memilih saya masuk dalam lima besar.
Oleh karena itu, di sela-sela waktu istirahat, saya sempatkan untuk mengobrol dengan santri ma’had aly lain, semisal Situbondo, Lirboyo, Nurul Qodim, Krapyak dan Sengkang (Sulawesi). Pada dasarnya, iklim dan budaya menulis di ma’had aly lain tak jauh beda. Hanya beberapa santri yang benar-benar menekuni bidang ini. Mahad aly adalah lembaga yang masih berusia muda. Mereka sama-sama membangun. Begitupula dengan ma’had aly Nurul jadid.
Lalu, mengapa santri ma’had aly situbondo banyak memenangi event-event seperti ini?
Wajarlah, mereka sudah berusia 30 tahun. Pada evet kemarin di Jogja, penelitian terbaik pertama memang dari ma’had aly situbondo. Tak heran, lha yang terbaik satu itu seangkatan sama ust. Husain, sedang menjalani guru tugas di Kangean, sudah mendapatkan gelar magister, dan bentar lagi akan memiliki momongan. Ya, ia sudah menikah. Lha, saya baru semester tiga mau sudah ikut forum seperti itu, ikut saja alhamdulillah. Apalagi bisa masuk lima besar.
Beda lagi di Nurul Qodim, kalau saya analisa, mereka juga sama masih membangun juga. Yang ikut pada event kemarin ini dari Nurul Qodim adalah seorang pengurus, sekarang menjadi kepala sekolah di Lumajang dan seminggu sekali mengajar di Nurul Qodim. Jadi, kalau ada event menulis nasional, seringkali ia yang menulis tapi santri lain yang mengikuti event tersebut. Ia bekerja di balik layar. Alasannya, yang penting sebagai syiar lembaganya selalu aktif dalam acara-acara kelas nasional.
Tapi, kenalan dari Nurul Qodim itu juga memberikan saran yang menggugah hati saya. Di sebuah percakapan, ia menyarankan bagi saya untuk tidak berkecil hati terhadap kondisi kepenulisan di pondok masing-masing. Kan masih baru, sama-sama baru membangun. Yang penting, katanya, kamu (yang dimaksud adalah saya) pinter nulis dulu, tularkan pada teman-teman yang lain dan juga menginspirasi. Kata terakhir membuka kesadaran saya.
Harus saya akui, Status WA yang awalnya saya privasi langsung saya buka seketika. Biar orang lain tahu, kawan dan santri lainnya di pondok bahwa saya ikut event ini di jogja. Tujuannya satu: biar dapat menginspirasi. Beberapa kawan dan pengurus yang baru mengetahui akan keberadaan saya ini, langsung mengirim pesan: bertanya ada dimana, ngapain dan mendoakan keselamatan. Dihari terakhir, bahkan ketika saya sudah sampai di pondok, alhamdulillah ada yang menghubungi saya dan berminat untuk menekuni bidang kepenulisan ini. Wah, ini kabar baik.
Sebenarnya saya juga ingin santri-santri lain juga mahir menulis, meneladani Kiai Romzi yang produktif dan memang agama islam mencintai budaya literasi membaca dan menulis. Para ulama’ besar tidak hanya dikenal sebagai orang yang alim dan ‘allamah saja di masanya, tapi manusia millenial sekarang masih mengenal nama-nama intelektual muslim dahulu, karena karya-karyanya. Karya tersebut bukan hanya ditulis oleh orang besar tersebut, tapi juga murid-muridnya.
Para Imam madzhab, dijadikan sebagai rujukan meagamaan, karena murid-murid mereka menuliskan kembali pemikiran dan biografi para Imam mereka. Lalu terjadilah dialektika antar karya diantara para ashab. Mereka mensyarahi (menjelaskan lebih detail) pemikiran guru mereka, kemudian ada ulama pada masa berikutnya yang meringkasnya, kemudian disyarahi lagi, diringkas lagi. Begitu sterusnya. Dialektika wacana, gagasan dan pemahaman diantara para mazhab ternyata mengokohkan nama Imam besar madzhab mereka. Semisal mazhab Imam Syafi’i, kita mempelajari kitab-kitab madzhab syafii tapi tidak langsung dari sumber asli karangan Imam syafii. Tapi, kitab-kitab ashabus syafii yang merupakan hasil dialektika dan anak pinak yang telah mengalami proses panjang dari kitab induknya karangan Imam Syafi’i asli.
Begitupula dengan wafatnya kiai Kita tercinta. Semua sedih, haru dan kepergiannya berlalu begitu saja. Sreet.. Satu kejadian, semua berubah drastis. Ini memang menyentak kesadaran kita, bahwa syarat kematian tidak harus menunggu sangat tua. Juga, bahwa kebesaran seorang guru tidak hanya ditentukan oleh banyaknya ilmu yang diajarkan dan karya yang telah dihasilkan, tapi juga para muridnya yang juga menuliskan biografi, pemikiran gurunya lalu muncul dialektika pemahaman dan karya pada generasi berikutnya.
Seperti kata Habib Luthfi bin Yahya, jika mencintai gurumu, maka jaga gurumu dengan perbuatanmu, lisanmu dan tulisanmu.
Sampai saat ini, saya masih bingung bagaimana membawa perubahan yang lebih baik sepulang dari Jogja. Karena memang skill menulis dan berkarya seperti kyai Romzi, butuh waktu, proses, keinginan yang kuat dan itu berjalan secara alamiah. Alam akan menyeleksi sendiri. Bagaimana seseorang dapat tumbuh seperti kiai Romzi. Lahull fatiihah…
Sumber : Status Facebook Alfin Haidar Ali (Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid)