Dikalangan Ahlussunnah tidak boleh bagi laki-laki menikahi lebih dari 4 orang wanita, ketika dia ingin menikahi wanita kelima, maka dia harus mentalak salah satu dari 4 istrinya tersebut, sebagaimana nash al-qur’an menyatakan hal itu[1] :
وَإِنْ خِفْتُمْ ألاّ تُقْسِطُوا فِى ٱلْيَتَـٰمَىٰ فَٱنكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ فَإِنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوا فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُكُمْۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰۤ ألاّ تَعُولُوا (النساء 4/3)
Ayat diatas menyatakan laki-laki boleh menikahi wanita lebih dari satu (sampai 4 wanita) dengan syarat dia harus adil, tidak dhalim. Ketika seorang laki-laki tidak mampu untuk adil dsb, maka laki-laki hanya dianjurkan untuk menikahi satu wanita saja, kemudian lafadz مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ disana terdapat wawu athof yang menerangkan untuk memilih bukan untuk jama’, karena ada sebagian ulama’ ahli ta’wil menyatakan bahwa wawu yang terdapat pada ayat tersebut itu merupakan wawu athof untuk jama’, dari itu mereka berpendapat laki-laki boleh menikahi 9 wanita, pendapat ini termasuk pendapat yang syadz (pendapat yang tidak boleh diikuti)[2]
Adapun beberapa dalil hadits tentang bolehnya laki-laki hanya menikahi 4 wanita saja, seperti sahabat-sahabat nabi, salah satunya ada sahabat pada masa nabi memiliki 10 istri kemudian dia masuk islam bersama dengan istri-istrinya tersebut, lalu nabi menyuruhnya untuk memilih 4 dari 10 istrinya[3].
Tidak semerta-merta diperbolehkan bagi laki-laki dalam poligami, harus memenuhi beberapa syarat :
- Berlaku adil terhadap beberapa istrinya, adil yang bisa dilakukan oleh kalangan manusia dalam segi material, seperti: nafaqoh, pergaulan, dan menginap di sisi mereka, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوا فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُكُمْۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰۤ ألاّ تَعُولُوا (النساء 4/3)
Ayat ini menerangkan ketika seorang laki-laki tidak bisa berlaku adil dan bersikap kasar terhadap beberapa istrinya, maka dia tidak boleh poligami (cukup bagi dia satu istri saja), akan tetapi yang dimaksud adil dalam poligami bukan adil yang bersifat perasaan, seperti: sifat simpati, kasih sayang, dan berpalingnya hati, karena hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh siapapun, sedangkan syara’ membebani syariat terhadap manusia sesuai yang ia mampu, dari itu perkara-perkara yang bersifat watak dan fitrah manusia yang tidak bisa ditundukkan hanya sebatas keinginan, maka perkara itu tidak dibebani terhadap manusia, seperti: kasih sayang dan rasa benci[4].
- Mampu menafkahi terhadap beberapa istri. Tidak boleh bagi suami mengedepankan salah satu dari istri-istrinya, dan terus-menerus menafkahi mereka, sebagaimana hadits rasul[5] :
قال لنا النبيُّ صلى الله عليه وسلّم: يامعشرَ الشباب من اسْتَطاع منكم الْبَاءَةَ فليتزَوَّج ، ومن لم يستَطِع فعليه بالصوم فإِنه له وِجاءٌ[6]
Lafadz الْبَاءَةَ itu bermakna biaya pernikahan.
Sebenarnya ada beberapa hikmah dalam poligami, akan tetapi syariat memperbolehkan poligami sesuai dengan sebab-sebab yang ada (sebab khusus/umum)[7].
Adanya peraturan menikah dengan satu istri itu merupakan perkara yang lebih utama dan sesuatu yang sudah lumrah, sedangkan poligami merupakan sesuatu yang langka, artinya poligami tidak diperbolehkan kecuali ada kemaslahatan, syariatpun tidak mewajibkan harus menikahi dengan satu istri (boleh-boleh saja lebih dari satu), hanya saja syariat memperbolehkan poligami ketika ada sebab-sebab tertentu.
Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan untuk poligami dibagi menjadi dua, ada sebab umum dan khusus.
Sebab umum, seperti penanganan masalah ketika jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, baik dalam keadaan biasa-biasa saja seperti yang terjadi di daerah eropa atau setelah terjadinya peperangan, sebagaimana perang dunia pertama yang terjadi di jerman, yang mana pada masa itu jumlah wanita 4 orang untuk 1 orang laki-laki, dari itu kaum wanita menuntut untuk dipoligami dengan didasari peraturan-peraturan poligami setelah suami-suami mereka terbunuh didalam peperang tersebut, Ketika itulah poligami bersifat dzaruri yang menyebabkan poligami pada waktu itu akan mendatangkan kemaslahatan, menjaga para wanita agar tidak merasa malu dan adanya penyimpangan, terkena penyakit-penyakit yang berbahaya seperti HIV[8].
Termasuk juga sebab-sebab umum, seperti: memperbanyak keterunan untuk memerangi para musuh (non muslim) atau untuk membantu dibidang pertanian dan perindustrian, juga termasuk pada sebab-sebab umum, seperti: kebutuhan yang bersifat sosial, untuk menyebarkan dakwah-dakwah islam, sebagaimana yang terjadi pada rasul bahwa beliau menikahi 9 wanita semata-mata hanya untuk menyebarkan dakwah-dakwah islam dan menolong agama Allah yang akhirnya hanya tersisa satu istri yaitu sayyidah khodijah.
Kemudian sebab-sebab yang bersifat khusus, seperti: mandulnya seorang istri, terkena penyakit dan tidak romantisnya suami istri, karena terkadang adanya beberapa wanita yang mandul dan tidak bisa menghasilkan keturunan atau wanita yang terkena penyakit yang dapat menghilangkan rasa kasih sayang suami terhadap istrinya atau tidak sesuai watak istri untuk suami, maka dari itu seorang suami diberi kesempatan menikah untuk kedua kalinya agar terwujudnya kebahagiaan dengan adanya beberapa anak[9].
Aturan dibatasinya laki-laki untuk menikahi 4 wanita saja sebenarnya sesuai dengan kadar kemampuan mereka didalam menanggung beban-beban rumah tangga dan juga batasan itu lebih bisa berbuat adilnya laki-laki akan istri-istri mereka, karena kalau lebih dari 4 orang niscaya seorang suami tidak mampu berbuat adil.
[1] موسوعة الفقه الإسلامي 8/170
[2] موسوعة الفقه الإسلامي 8/171
[3] نيل الأوطار 6/159
[4] موسوعة الفقه الإسلامي 8/172
[5] موسوعة الفقه الإسلامي 8/173
[6] فتح الباري شرح صحيح البخاري – ص 133/ج 10
[7] موسوعة الفقه الإسلامي 8/173
[8] موسوعة الفقه الإسلامي 8/173
[9] موسوعة الفقه الإسلامي 8/174