Dalam kehidupan manusia, ketidakadilan dan penindasan merupakan fenomena umum yang terjadi dimana-mana, dapat dilakukan dan menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi, dalam realita sosial, kaum perempuanlah biasanya yang menjadi korban ketidakadilan dan penindasan tersebut. Hal ini disebabkan karena ketimpangan struktur sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Sempat tersiar kabar yang sangat mengejutkan bahwa adanya Undang-Undang pemerkosaan dalam rumah tangga yang mengakibatkan banyak pertanyaan dari segala pihak. Karena istilah pemerkosaan biasanya digunakan bagi pelaku pemerkosaan di luar pernikahan, dan pemerkosaan dalam rumah tangga itu lebih akrab dikenal dengan sebutan Marital Rape.

Istilah Marital Rape terdiri dari dua suku kata berbahasa inggris, yaitu ‘Marital’ yang bermakna ‘segala hal yang terkait perkawinan’ dan ‘Rape’ yang berarti ‘Pemerkosaan’. Bisa dimaknai setiap hubungan intim yang tidak diinginkan serta dilakukan dengan paksaan atau tanpa persetujuan istri.

Pertanyaannya, Apakah ada nash al-qur’an, hadist dan qoul ulama’ yang menyatakan pemerkosaan dalam rumah tangga?

Yang kerap dijadikan landasan dalil seorang suami dalam menggauli istrinya adalah hadist yang diriwayatkan abi hurairoh

شرح رياض الصالحين (3/ 138)

وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها؛ لعنتها الملائكة حتى تصبح)) متفق عليه.

Hadist ini menerangkan bahwa ketika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan intim lalu seorang istri enggan untuk melakukannya kemudian suaminya marah, maka malaikat melaknat istri tersebut hingga pagi hari. Dari hadist tersebut bisa disimpulkan bahwa seorang istri wajib melakukan apa saja yang dikehendaki suami dalam hal hubungan intim.

Senada dengan hadist di atas yang diriwayatkan oleh talq bin ‘ali

مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (5/ 2126)

وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنور» . رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ

Dari kedua hadist di atas seakan-akan seorang perempuan tidak bisa menolak ketika suami mengajak untuk berhubungan intim, namun ketika ditelisik kembali hadist-hadist tersebut, tidak semerta-semerta perempuan tidak boleh menolak suaminya ketika ingin berhubungan intim. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan alasan yang dianggap benar oleh syariat, seperti: dalam keadaan sakit, di masa-masa haid sebagaimana dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al-quwaitiyah, disibukkan oleh kewajiban yang lain sesuai dengan qaidah fiqh الواجب لايترك إلا لواجب  (perkara yang wajib tidak bisa ditinggalkan kecuali dengan perkara wajib pula) atau ada hal yang mencegah perempuan untuk melayani suami, maka dalam hal tersebut boleh seorang istri menolak untuk berhubungan intim.

شرح رياض الصالحين (6/ 500)

قال إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن تجيء لعنتها الملائكة حتى تصبح أو قال حتى ترجع وذلك أن الواجب عليها إذا دعاها الرجل إلى حاجته أن تجيبه إلا إذا كان هناك عذر شرعي كما لو كانت مريضة لا تستطيع معاشرته إياها أو كان عليها عذر يمنعها من الحضور إلى فراشه فهذا لا بأس

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي (9/ 6851)

وعلى الزوجة طاعة زوجها إذا دعاها إلى الفراش، ولو كانت على التنور أو على ظهر قتَب، كما رواه أحمد وغيره، ما لم يشغلها عن الفرائض، أو يضرها؛ لأن الضرر ونحوه ليس من المعاشرة بالمعروف. ووجوب طاعتها له لقوله تعالى: {ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف} [البقرة:228/ 2]

Dalam mu’asyaroh (Jima’) dengan istri ada tata yang ditetapkan oleh syariat seperti: tidak membahayakan bagi seorang istri, atau istri tidak senang dengan cara suami karena tujuan dari bermu’asyaroh, sekiranya kedua belah pihak bisa merasakan kesenangan yang sama bukan malah kesenangan sebelah pihak sebagaimana ibnu ‘asyur menyatakan dalam kitab tahrir wa at-tanwir, beliau menafsiri ayat :

عاشروهن بالمعروف

yang dimaksud ma’ruf segala cara yang tidak bertentangan dengan keinginan.

كشف المشكل من حديث الصحيحين (4/ 130)

وَلَا يَنْبَغِي أَن يجتمعا إِلَّا على أحسن حَال لتدوم الْمحبَّة؛ فَإِن ظُهُور الْعُيُوب تسلي عَن المحبوب، وَيَنْبَغِي أَن يكون الْفراش قَرِيبا من الآخر ليجتمعا إِذا أَرَادَا وينفصلا إِذا شاءا. – إلى أن قال – قَالَ ابْن عَبَّاس: إِنِّي لأحب أَن أتزين للْمَرْأَة كَمَا تتزين لي، وَقَالَت بدوية لابنتها حِين أَرَادَت زفافها: لَا يطلعن مِنْك على قَبِيح، وَلَا يشمن إِلَّا طيب ريح.

Hemat al-haqir bisa disimpulkan bahwa, dari nash al-qur’an, hadist dan qoul ulama’ tidak ada yang menyatakan pemerkosaan dalam rumah tangga, dengan alasan: teks pemerkosaan biasanya digunakan tatkala hubungan intim dilakukan di luar pernikahan, sedangkan dalam kasus, hal itu dilakukan dalam pernikahan namun ada beberapa hal yang selayaknya diperhatikan bagi seorang suami ketika mengajak istrinya dalam berhubungan intim: melakukannya dengan cara yang benar, tidak ada unsur pemaksaan yang menyebabkan bahaya kepada perempuan, agar tercipta hubungan yang menyenangkan kedua belah pihak dan tidak dalam keadaan udzur yang syar’i dan alasan-alasan yang sudah dipaparkan di atas.

Maka tanpa alasan di atas seorang istri wajib menunaikan hajat suami, bahkan selayaknya seorang istri bersolek secantik mungkin sebagaimana yang dilakukan istri ibnu abbas kepadanya, begitu pula sebaliknya.

Wallahu A’lamu Bis Showab.

Penulis : Mustain Romli (Mahasantri Semester Tujuh Ma’had Aly Nurul Jadid)

 

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?