Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering memanfaatkan produk yang sudah jadi tanpa tahu bagaimana prosesnya. Padahal dalam sebuah produk ada proses panjang di dalamnya yang melibatkan banyak hal, contoh sederhananya adalah minyak goreng. Dalam memproduksi minyak goreng tidak bisa di lepaskan dari kelapa sawit sebagai bahan bakunya yang mana buah tersebut di kirim ke pabrik untuk kemudian di proses menjadi minyak goreng, tentu dalam proses ini membutuhkan teknik-teknik produksi yang lumayan rumit. Nah, dalam proses produksi ini pasti melibatkan orang orang yang ahli dalam memproduksi minyak goreng hingga kemudian menjadi sebuah produk minyak goreng yang kita kenal
Dalam pembuatan minyak goreng di atas setidaknya melibatkan empat pilar penting: bahan baku, pabrik tempat produksi, orang yang memproduksi dan produk itu sendiri.
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustasfa min al-Ilmi al-Ushul mempunyai analogi serupa dengan contoh diatas tapi dengan istilah yang berbeda. Beliau mengunakan terminologi tsamrah, mustmir , mustastmir, thuruq fi ististmar.
Katanya Imam Ghazali
فإن الاحكام ثمرات، وكل ثمرة لها صفة وحقيقة في نفسها، ولها مثمر، مستثمر، وطريق الاستثمار
Sesungguhnya hukum hukum itu adalah buah, yang mana setiap buah mempunyai sifat dan hakikat sendiri dan melibatkan pohon, orang berupaya membuat pohon berbuah, dan metode melahirkan buah.
Dari pengatar ini kemudian penulis kitab ihya’ ulumuddin yang fonomenal itu kemudian menjelaskan dengan apik apa maksud dari istilah istilah yang di kemukan di atas tadi. Beliau menyebutnya sebagai empat pilar.
Pilar Pertama, buah (tsamrah)
Yang dimaksud tsamrah di sini adalah tsamrah al-ijtihad, buah dari sebuah ijtihad itu sendiri, yang kitab kenal dengan istilah ahkam. Dengan demikian, “buah” ini meliputi wujub (wajib), hadr (haram) nadb (sunnah), karahah (makruh), ibahah ( boleh), hasan (baik), qabh (tidak baik), qodo’ (melakukan sesuatu keluar dari waktunya), ‘ada’ (melakukan sesuai pada waktunya), sihhah (sah), fasad (rusak) dan lain sebagainya.
Pilar yang pertama ini di kemudian hari oleh ushuliyun (ulama’ushul) di bagi menjadi dua bagian besar; hukum taklifi, dan hukum wad’i.
Wahbah Az-Zuhaily dalam Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqhnya, menyatakan:
ينقسم الحكم الشرعي كما تبين من تعريفه قسمين: الحكم التكليفي والحكم الوضعي
“Sebagaimana telah di jelaskan dalam definisinya, hukum syariah terbagi menjadi dua bagian: hukum taklifi dan hukum wad’i”
Pembagian ini menimbulkan tanda tanya, Kenapa ?
Lagi lagi untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mengutip kitab yang sama.
لأن كلام الشارع المتعلق بأفعال المكلفين إما على سبيل الطلب أو التخيير، او على سبيل الوضع، فإن كان متعلقا بفعل المكلف على جهة الطلب أو التخيير فهو الحكم التكليفي، وان كان متعلقا بفعل المكلف على جهة الوضع فهو الحكم الوضعي
Karena kalam syari’ (Allah SWT) yang berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf adakalanya dengan cara menuntut (thalab) atau memberi pilihan (tahkyir), adakalanya dengan cara wadha’ (keberadaannya diletakkan oleh Allah). Nah, jika kalam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu dengan cara menuntut (thalab) dan memberi pilihan (takhyir) maka dinamakn hukum taklifi, sebaliknya jika kalam tersebut dengan cara wad’i maka dinamakan hukum wad’i.
Hukum Taklifi sendiri dibagi menjadi lima bagian: ijab (wajib), nadb (sunnah), hadr (haram) karohah (makruh) dan yang terakhir adalah ibahah (mubah). Begitu juga dengan hukum wad’i, ulama’ membagi menjadi sabab (sebab), syarat, mani’(penghalang), sihhah (sah), fasad (rusak/batal), azimah dan rukhsoh (keringanan)
Pilar kedua, Pohon (Mustmir)
Mustmir ini menurut Imam Al-Ghazali adalah Adillah (Dalil-dalil) al–muttafaq alaiha minus qiyas, praktis hanya ada tiga dalil: al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Imam Ghazali segaja tidak memasukkan qiyas pada pilar kedua ini karena beliau menganggap qiyas bukanlah “bahan baku” tapi lebih kepada metode ‘melahirkan buah’ dengan proses-proses tertentu.
Pilar Ketiga, Metode metode melahirkan buah, (thuruq fi istismar)
Pilar ketiga ini oleh Imam Al-Ghazali di bagi menjadi empat bagian; Dalalah al-lafdzi min haitsu shighat (petunjuk sesuai narasi tekstualnya), dalalah min haitsu fahwa wa al-mafhum (petunjuk dengan apa yang di maksud dan yang di fahami), dalalah bi al-darurah wa al-iqtidha’ (petunjuk melalui sebuah keniscayaan dan tuntutan dan terakhir adalah dalalah bi- al ma’na al-ma’qul (petunjuk dari spirit dan rasionalitas).
Dalalah yang pertama ini adalah dalalah yang penunjukan maknanya sesuai teksnya akan sangat berkaitan dengan shigat lafadz seperti amr (perintah), nahi (larangan) umum (umum) khusus, dhohir, muawwal dan nash.
Adapun dalalah yang kedua adalah petunjuk dengan apa yang di maksud dan yang di fahami (dalalah min haitsu fahwa wa al-mafhum) mencakup terhadap mafhun dan dalil khitab
Sedangkan dalalah yang ketiga adalah petunjuk melalui sebuah keniscayaan (dalalah bi al-darurah wa al-iqtidha’) mencakup kepada isyarat lafadz (isyarah al-lafdzi) misalnya, katanya Imam Al-Ghazali, ada orang berkata: “Merdekakanlah budakmu untuk saya” kemudian kamu menjawab, “a’taqtu, saya telah memerdekakan” maka dalam pernyataan ini mengkonsekwensikan terjadinya kepemilikan bagi orang yang menyuruh meskipun si penyuruh tidak melafadzkan karena merupakan keniscayaan dari pelafadzan keduanya.
Dan yang terakhir adalah petunjuk dari spirit dan rasionalitas (dilalah bi- al ma’na al-ma’qul), contohnya seperti hadis nabi Muhammad SAW
لا يقتضي القاضي وهو غضبان
Hakim tidak boleh memutuskan saat marah
“Hadis ini, katanya Imam Ghazali, menunjukkan bahwa hakim yang lapar, sakit, menahan kentut juga tidak boleh memutuskan berdasarkan rasionalitas maknanya, karena sama-sama membuat emosi tidak stabil”.
“Nah, dari sini, kata Imam Ghazali mengakhiri pembahasannya, lahir metode yang di namakan qiyas dan “menyeret” untuk menjelaskan semua hukum -hukum dan pembagianya”.
Pilar ke-empat , mustasmir (orang yang mengupayakan melahirkan buah) dalam hal adalah mujtahid.
Di pilar keempat ini ulama’ yang memperoleh gelar hujjatul islam membaginya menjadi empat bagian. pertama, tentang ijtihad, rukun dan hukumnya, kedua, beliau membahas masalah taqlid, meminta fatwa (istifta’) dan orang awam, dan yang terakhir sekaligus ketiga bagaimana seharusnya seorang mujtahid bersikap tatkala berhadapan dalil yang bertentangan.
*AQS, Alumnus Ma’had Aly Nurul Jadid.