Saat ini marak kajian-kajian yang membuka kajian keislaman. Berbagai tema tidak luput dari bahasannya. Ubudiyah (Ibadah), Muamalah (Transaksi), Munakahat (Pernikahan), akidah dan serba serbi kehidupan semua di bahas tuntas, maka sangat pantas apabila kajian tersebut mempunyai slogan “Apapun masalah anda kajian solusinya”
Mengapa? Karena sepanjang pengetahuan saya, sang ustadz pasti bisa menjawabnya. Tidak ada kata mauquf seperti dalam bahtsul masail, tidak pernah terdengar kata, “maaf untuk permasalahan ini kami masih belum mengetahuinya” atau “coba tanyakan ke ustadz A, B atau karena mereka yang lebih paham masalah ini”. Sekali lagi tidak pernah, mungkin saya bisa salah, alangkah baiknya anda cek sendiri.
Di kajian itu mereka secara lugas menghukumi, haram, boleh, makruh, bid’ah, sesat, masuk neraka dll. Klaim yang selalu mereka gaungkan adalah “ikuti ulama salaf”. Nah, bagaimana ulama salaf mencontohkan akhlak dan ketawaduan tatkala ada pertanyaan dalam “kajian” mereka.
Pernah suatu ketika Imam Syafi’i ditanya tentang suatu permasalahan, beliau tidak menjawab.
Imam Ahmad bin Hambal (Pendiri Madzhab Hambali) sering menjawab la adri (saya tidak mengetahuinya) ketika ditanyakan suatu masalah.
Bagaimana dengan Imam Malik (pendiri madzhab Maliki)? Mari kita lihat persaksian Haisam bin Jamil :
شهدت مالكا سئل عن ثمان واربعين مسألة فقال في اثنتين وثلاثين منها : لا ادري
“Saya menyaksikan Imam Malik di tanya 48 masalah dan beliau menjawab la adri (saya tidak tahu) sebanyak 23 masalah. Artinya dari 48 masalah yang di ajukan kepada Imam Malik ‘hanya’ 25 masalah.”
Bahkan dalam kisah lain di sebutkan bahwa Imam Malik pernah di tanya sebanyak 50 masalah, berapa yang di jawab oleh Imam Malik ? Empat puluh, anda keliru, tiga puluh, sekali lagi anda keliru, sepuluh, kali ini anda salah lagi. Terus berapa? Jawabannya, tidak ada yang dijawab, really. Iyaa anda tidak salah baca. Imam Malik memang tidak menjawab satupun dari 50 masalah yang diajukan.
Imam Abu Musa Al-Asy’ari RA pernah ditanya oleh seseorang tentang jatah anak perempuan bersama cucu perempuan beserta saudari mayyit dalam ilmu faroidh. Beliau tidak langsung menjawab, beliau hanya mengatakan: “datangilah Ibnu Mas’ud, beliau lebih tahu dari aku dalam masalah ini”. (HR Al-Bukhari). Beliau tidak malu dikatakan sebagai seorang yang dangkal ilmu, karena memang beliau tidak mengetahui masalah tersebut. (Da’watuna.com)
Lalu kenapa keempat imam yang kapasitas keilmuannya tidak di ragukan lagi masih menjawab la adri, saya tidak tahu atau merekomendasikan kepada ulama yang lebih tahu, itulah akhlak para ulama’ salaf, sangat berhati hati dalam berfatwa
Lalu mengapa ustadz di zaman ini, dengan mudahnya menjawab setiap permasalahan yang diajukan kepada mereka. Beginilah fenomena para ustadz dan ulama bodoh di akhir zaman. Ketakutan mereka kalah gelar yang diberikan manusia jauh lebih sulit bagi Allah SWT, sehingga mereka berjuang berfatwa tanpa dilandasi oleh ilmu. Kelak, pada akhirnya mereka akan meminta dosa atas fatwa-fatwa mereka :
مَنْ أفْتيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
“Siapa yang memberi fatwa tanpa dasar ilmu, maka dosanya atas orang yang memberi fatwa”. (HR.Abu Dawud) (Rumah Fikih)
Wallahi A’lam
*Penulis : Ach. Qusyairi, S.E. (Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid)
Editor : Alfin Haidar Ali