Salah satu cara Allah dalam mendidik menusia adalah dengan metode kisah yang termaktub dalam al-Qur’an. Manusia bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut dengan tanpa harus merasa terdoktrin. Metode ini mempunyai kelebihan tersendiri, yakni lebih menarik, mudah di cerna dan atraktif serta tidak monoton.
Dalam al-Qur’an sendiri, menurut Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir fil-‘Aqidah wasy-Syari’ah wal-Manhaj ada sekitar 1000 ayat yang menjelaskan tentang kisah-kisah dan kabar-kabar. Bandingkan dengan ayat tentang halal-halal yang “hanya” 500-an ayat.
Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan metode kisah mempunyai kedudukan penting dalam metode pengajaran dalam al-Qur’an. Salah satu kisah yang cukup terkenal adalah Semut dan Nabi Sulaiman dalam Surah ke- 27 yakni An Naml ayat 18.
Alkisah, suatu waktu nabi sulaiman yang juga menjabat sebagai raja berjalan bersama bala tentara, melewati sebuah lembah di negeri Syam. Di mana lembah dalam al-Qur’an disebut wadi an-naml, lembahnya semut, maksudnya di lembah tersebut terdapat koloni semut, dimana para semut tengah gencar keluar sarang untuk mencari makanan.
Saat mengetahui Nabi Sulaiman beserta bala tentaranya akan melewati lembah semut itu, Ratu sang Semut memberi titah :
يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ
Artinya : “Wahai para semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kalian”
Hal ini, dilakukan, karena sang ratu khawatir marabaya mengancam rakyatnya, ia khawatir rakyatnya mati terinjak-injak oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya. Kekhawatiran itu tercermin dari lanjutan titah sang ratu semut yang mengatakan :
لا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ
“Agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”
Kalimat وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ, kata Dr. Quraish Shihab, menunjukan semut tidak menyalahkan nabi Sulaiman dan pasukannya seandainya mereka terinjak-injak. Kata semut, pastilah nabi Sulaiman tidak menyadari keberadaan mereka di sana (tafsir misbah).
Nah, dalam kisah diatas, kebijakan untuk masuk ke sarang di keluarkan oleh Ratu Semut, saat sang ratu mengetahui adanya “bahaya” yang mengancam rakyatnya.
Kondisi diatas, kurang lebih sama dengan kondisi, di Indonesia saat ini, saat wabah covid 19 merebak ke seluruh penjuru negeri, yang sewaktu- waktu bisa saja menjangkiti siapa, karena memang virus mahluk kasat mata, sulit di deteksi dengan masa telanjang. Tentu kondisi ini juga “berbahaya” bagi rakyat Indonesia. Nah, layaknya ratu semut yang dikisahkan dalam al-Qur’an, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan #DirumahAja.
Dalam kasus ini, kita bisa mengunakan kerja- kerja qiyas, meski sangat jauh dari kata layak. Tapi kita masih bisa menerapkan metodenya di beberapa sisi. Misalnya, “hukum” anjuran dirumah aja, disamakan dengan anjuran masuk sarang karena adanya kesamaan illat, yakni sama sama adanya bahaya yang mengancam. “Hukum” di masuk ke sarang di posisikan sebagai asal (pokok), sedangkan anjuran #DirumahAja sebagai far’ (cabang).
Tapi sekali lagi, penggunaan metode qiyas dalam kasus ini tidaklah tepat. Mungkin yang bisa kita lakukan “hanya” bisa mengambil ibrah dari kisah semut diatas.
Pertanyaannya, maukah kita mengikut anjuran pemerintah layakya para semut mengikuti anjuran ratunya untuk tetap #dirumahsaja?
ألا نستطيع ان نأخذ العبرة من هذا القصة؟
Apakah kita tidak bisa mengambil ibrah, pelajaran dari kisah ini? Jika iya, maka hendakalah anjuran pemerintah.
#DirumahAja itu kita ikuti Tulisan ini saya akhiri dengan kalimat “Semut saja bisa melakukan anjuran #DirumahAja masak kita tidak? ”
Catatan: √Anjuran di rumah saja, bisa di terapkan jika daerahnya sudah masuk zona merah. √ Pekerjaan yang biaa di kerjakan di rumah
Oleh : Ach. Qusyairi, S.E. (Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid)