Tidak lepas dari kiprah para pejuang yang telah mendahului kita, yang mana hasil pengorbanan para pejuang dapat kita rasakan sampai saat ini. Bulan Agustus merupakan bulan bersejarah bagi masyarakat Indonesia, karena di bulan inilah bangsa Indonesia berhasil sampai di gerbang kemerdekaannya, lebih tepatnya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Sebagai bentuk kebahagiaan dengan adanya kemerdekaan bangsa Indonesia, kebanyakan dari kalangan masyarakat memeriahkannya dengan berbagai macam perlombaan dan berbagai hiburan lainnya, salah satunya adalah karnaval. Konsep karnaval di setiap daerah berbeda-beda, namun kebanyakan daerah di Indonesia pasti melaksanakan festival karnaval baik kota maupun desa dengan memperlombakannya. Penampilan merekapun berbeda sesuai tema yang mereka pilih, ada yang menggunakan pakaian adat, pakaian tari, pakaian pahlawan lengkap dengan senjatanya, dan lain sebagainya.
Tentunya dalam kegiatan karnaval tersebut pantas sekali untuk mendapatkan apresiasi melihat banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan dari adanya kegiatan tersebut, seperti bertambahnya semangat kemerdekaan, nilai sosial yang tinggi, mengasah kreatifitas, menguatkan tali silaturahmi dan lain sebagainya. Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, dan dibatasi lagi. Mengingat ada sebagian karnaval yang kemudian mempertontonkan jogetan di depan khalayak umum.
Lantas bagaimana tanggapan syari’at mengenai karnaval yang disertai dengan joget di depan umum tersebut?
Terdapat banyak pendapat mengenai hukum berjoget sendiri ada yang mengatakan makruh, mubah, bahkan haram, sekalipun tidak di hadapan khalayak umum. Untuk itu hukum keharaman berjoget ketika karnaval bukan secara mutlak disebabkan karena joget itu sendiri, melainkan karena melanggar ketentuan-ketentuan yang ada di dalam syari’at
Dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz 2: shahifah 42 dijelaskan:
قال الإمام الغزالي في الإحياء: النصوص تدل على إباحة الغناء والرقص …وقد استدل الاستاذ الغزالي على إباحة الرقص: برقص الحبشة …فالنوع المباح من الرقص هو الذي لا يثير شهوة فاسدة
“Imam Ghazali berpendapat dalam kitab Ihya’: Adapun beberapa nash yang ada menunjukan atas kebolehan berjoget….Imam Ghazali memperbolehkan joget mengambil dalil dari joget yang dilakukan orang Habasyah….,adapun maksud macam joget yang diperbolehkan oleh beliau adalah joget yang tidak sampai mengundang syahwat yang fasid” (Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz 2: shahifah 42)
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa berjoget diberbolehkan dengan berlandaskan pada perilaku orang Habasyah yang berjoget saat gembira dan tidak mendapat teguran dari Nabi SAW. Bahkan mempersilahkan Sayyidah ‘Aisyah untuk menonton mereka. Namun, perlu diperhatikan bahwa kebolehan berjoget disini hanyalah Ketika tidak menimbulkan syahwat.
Pendapat ini juga dikuatkan dengan ibarat dalam kitab Hasyiah Bujairami ‘Ala Syarhi Al-Minhaj juz 4: halaman 372, dengan alasan berjoget hanyalah gerakan lurus atau bengkok saja, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Habasyah, oleh karenanya hukumnya mubah. Adapun redaksinya sebagaimana berikut:
)لَا رَقْصٍ) فَلَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَا مَكْرُوهٍ بَلْ مُبَاحٌ الى ان قال… وَلِأَنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوْ اعْوِجَاجٍ (إلَّا بِتَكَسُّرٍ) فَيَحْرُمُ؛ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ أَفْعَالَ الْمُخَنَّثِينَ
“(Tidak dengan berjoget) maka joget bukan sesuatu yang diharamkan dan dimakruhkan, akan tetapi mubah (sampai perkataan)…karena joget hanyalah Gerakan lurus dan bengkok saja, (kecuali dengan gerakan gemulai) maka diharamkan berjoget dengan demikian, karena berjoget dengan demikian menyerupai gerak lawan jenis (laki-laki menyerupai perempuan, atau sebaliknya)” (Hasyiah Bujairami ‘Ala Syarhi Al-Minhaj juz 4: halaman 372)
Dalam lanjutan keterangan kitab Hasyiah Bujairomi di atas menjelaskan tentang keharaman berjoget apabila sampai menimbulkan gerakan gemulai atau berlenggak-lenggok karena hal tersebut menyerupai hermafrodit (individu yg memiliki dua alat kelamin yang sama-sama berfungsi), dalam artian tidak sampai menimbulkan gerak kewanita-wanitaan bagi laki-laki, dan gerak kelaki-lakian bagi wanita.
Dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz 2: halaman 43 dijelaskan:
أما رقص النساء أمام من لا يحل لهن فإنه حرام بالإجماع لما يترتب عليه من إثارة الشهوة والافتتنان وما فيه من التهتك
“Adapun berjogetnya Perempuan didepan orang yang tidak halal baginya hukumnya disepakati haram, sebagaimana yang telah ditetapkan, diantaranya dapat mempengaruhi syahwat, fitnah, dan juga petaka”(Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz 2: halaman 43)
Termasuk juga joget yang haram adalah berjoget yang sampai menimbulkan terbukanya aurat, atau bahkan dibarengkan dengan hal-hal yang diharamkan seperti contoh berjoget sambil mabuk dan lain sebagainya, maka hukumnya disepakati haram.
Tardapat juga beberapa pendapat dari ulama’ madzahib yang memakruhkan berjoget termasuk salah satunya adalah ashab Syafi’I (ulama’ medzhab syafi’i).
Dalam kitab Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juz 23: halaman 10 disebutkan:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَالْقَفَّال مِنَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى كَرَاهَةِ الرَّقْصِ مُعَلِّلِينَ ذَلِكَ بِأَنَّ فِعْلَهُ دَنَاءَةٌ وَسَفَهٌ، وَأَنَّهُ مِنْ مُسْقِطَاتِ الْمُرُوءَةِ، وَأَنَّهُ مِنَ اللَّهْوِ
“Madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan Imam Qaffal dari golongan Syafi’iyah berpendapat kepada kemakruhan berjoget dengan berillat (beralasan) bahwa berjoget adalah perilaku yang hina dan bodoh, menurunkan muruah dan perilaku yang sia-sia”( Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juz 23: halaman 10)
Meninjau dari banyaknya perincian terkait hukum berjoget, alangkah lebih baiknya bagi kita yang sudah mengetahui dan menyadari akan hal yang kurang benar tersebut untuk lebih mengekstrak kembali kegiatan-kegiatan yang akan diadakan, terutama dalam lomba karnaval yang kerap kali terjadi terutama di bulan Agustus seperti saat ini, lebih-lebih sampai berjoget di depan umum, selain hal tersebut menyalahi syari’at jika sampai berlebihan sebagaimana pembahasan yang telah dijelaskan di atas, hal tersebut juga akan berdampak negatif bagi generasi penerus selanjutnya. sehingga yang pada awalnya memberi manfaat, pada akhirnya dianjurkan untuk bertaubat.
Seperti yang telah disinggung di awal, bahwa karnaval sendiri memiliki dampak positif yang cukup, bahkan untuk edukasi sekalipun. Hal itu selaras dengan dawuh guru kami “kemerdekaan itu tidak murah” jadi jangan sampai menyalahi esensinya, apalagi sampai menghilangkan muruah. Wallahu A’lam
Amania Riskiyani R. (Mahasanteri aktif Ma’had ‘Aly Nurul Jadid)