Nikah merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di dalam agama islam. Dengannya, laki-laki dan perempuan bisa memiliki hubungan yang halal setelah melakukan akad.
Selain itu pernikahan merupakan jalan satu-satunya untuk memasuki pintu rumah tangga. Terdapat banyak manfaat dan tujuan di dalam pernikahan. Diantaranya, dapat membantu menjauhkan diri dari maksiat dan juga menjaga keturunan yang diistilahkan sebagai hifdzu an-nasl.
Anjuran menikah telah tecantum di dalam firman Allah QS. An-Nisa ayat 01 yang berbunyi:
يايُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Diantara beberapa tahapan untuk memasuki pintu pernikahan adalah mengkhitbah atau melamar. Khitbah merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kemantapan seorang laki-laki untuk menikah. Sehingga apabila seorang wanita menerima khitbah dari seorang laki-laki, maka mereka berdua resmi bertunangan.
Pertunangan merupakan sebuah masa transisi antara khitbah dan akad nikah. Salah satu hikmah dari adanya pertunangan adalah memberi peluang kepada kudua pasangan yang akan menikah untuk saling mengenal lebih jauh. Melalui kedekatan masing-masing dari kedua keluarga mereka.
Namun ketika kita melihat pada realitanya, banyak kejadian menyalahi syariat yang terjadi di masyarakat. Misalnya, kedua pasangan yang sudah bertunangan mempunyai tuntutan untuk sering bertemu atau membawa tunangannya kepada semua kerabatnya untuk diperkenalkan.
Hal tersebut dilakukan tanpa di dampingi oleh mahrom si wanita. Bahkan, Jika hal demikian tidak dilakukan, biasanya keluarga dari mereka berdua akan diolok-olok oleh kebanyakan masyarakat di sekitarnya. Bahkan bisa sampai berakibat pada batalnya rencana pernikahan yang telah disepakati bersama. Lantas apakah kebiasaan tersebut dapat dibenarkan?
Sebelum membahas pertanyaan lebih lanjut, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa hubungan pertunangan tidak bisa mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi halal. Dalam artian, laki-laki dan perempuan yang sudah bertunangan masih belum memiliki status hubungan yang sah. Seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Az-Zuhayli di dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu :
اَلْخِطْبَةُ مُجَُرَّدُ وَعْدٍ بِالزَّوَاجِ، وَلَيْسَتْ زَوَاجاً ، فَإِنَّ الزَّوَاجَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِانْعِقَادِ الْعَقْدِ الْمَعْرُوْفِ، فَيَظِلُّ كُلٌّ مِنَ الْخَاطِبَيْنِ أَجْنَبِياً عَنِ الآخَرِ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ الْاِطِّلَاعُ إِلَّا عَلَى الْمِقْدَارِ الْمُبِاحِ شَرْعاً وَهُوَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ
Artinya : Khitbah hanya merupakan janji untuk menikah. Khitbah bukanlah pernikahan. Sebab, sesungguhnya pernikahan tidak akan terlaksana kecuali dengan terjadinya akad nikah yang sudah terkenal. Dengan begitu, laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar statusnya masih orang lain. Tidak halal bagi si pelamar untuk melihat si perempuan kecuali bagian yang diperbolehkan syariat, yakni wajah dan kedua telapak tangan.
Disana dijelaskan bahwa khitbah atau lamaran hanya merupakan janji untuk melakukan pernikahan. Bukan akad yang mengesahkan antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan yang halal. Masing-masing salah satu dari dua orang yang bertunangan masih dihukumi seperti hukum orang lain bagi yang lain.
Sehingga tidak boleh bagi keduanya ketika sudah bertunangan saling melihat satu sama lain kecuali dalam keadaan yang diperbolehkan oleh syariat. Seperti halnya waktu pertama kali lamaran, yang mana calon pasangan laki-laki boleh melihat wanita yang sedang dilamar untuk sekedar ta’aruf (saling mengenal). Lepas dari masa itu, mereka berdua tidak halal untuk melakukan hal tersebut.
Diantara beberapa contoh perbuatan yang dilarang oleh syariat adalah bertemu dengan tunangan, boncengan menggunakan sepeda motor, serta pekerjaan-pekerjan lainnya yang dapat menimbulkan fitnah dan mengundang perbuatan zina. Dan Perbuatan sepeti ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat.
Sedangkan zina sendiri merupakan perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah swt. dan juga termasuk dari salah satu dosa-dosa besar setelah pembunuhan. Salah satu dalil yang menjadi bukti adanya larangan perbuatan zina adalah firman Allah dalam Al-quran Surat Al-Isra ayat 32 yang berbunyi :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk“.
Larangan keras dari ayat tersebut ditunjukkan dengan adanya larangan mendekati zina. Bahkan Allah menentukan hukuman yang berat di dunia bagi pelaku zina. Sebagaimana keterangan di dalam firman Allah QS. An-nur ayat 02 yang berbunyi :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ketika kita tinjau dari segi kaidah fikihnya, terdapat kaidah fikih yang bisa menjadi argumen penguat dari pendapat diatas, yakni :
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبٌ الْْعَمَلُ بِهَا
Artinya : Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti
Kaidah ini seolah-olah menuntut kita untuk mengikuti kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Namun perlu dipahami lebih mendalam lagi. Bahwa maksud sebenarnya dari kaidah tersebut adalah tertuju kepada setiap kebiasaan yang sesuai dengan ajaran syariat. Bukan kebiasaan yang malah bertentangan dengan aturan syariat itu sendiri.
Jadi kesimpulannya adalah pasangan yang sudah bertunangan belum memiliki hubungan yang sah dan menghalalkan. Masing-masing satu dan yang lainnya, haram melakukan sesuatu yang dilarang oleh syariat. Sebab, sebuah usaha menjauhi perkara-perkara yang dilarang agama akan menjadi pondasi yang kuat untuk membangun Kelangsungan rumah tangga dalam mencapai cita-cita sakinah, mawaddah wa rahmah.
*Imam Thobroni, Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid.