Pada pertemuan berikutnya, Kiai Hasan Basri menjelaskan tentang hukum menghadiri undangan walimatul ursy. Dalam permaslahan ini, ulama masih berbeda pendapat, ada sebagian ulama yang mengatakan menghadiri undangan walimah hukumnya wajib fardlu ain (wajib secara individu). Pendapat ini merupakan pendapat yang dijadikan pedoman di dalam madzhab Syafi’i.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hal tersebut merupakan fardhu kifayah (wajib secara kolektif), bahkan ada yang mengatakan sunnah. Kemudian beliau melanjutkan pembahasan tentang beberapa permasalahan undangan walimah. Salah satunyai jika kita mendapati dua undang walimah sekaligus dalam satu waktu, maka yang lebih didahulukan adalah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.
Namun apabila keduanya sama dalam segi waktu, maka yang lebih didahulukan adalah undangan orang yang memiliki hubungan kerabat lebih dekat, kemudian orang yang jarak rumahnya lebih dekat dengan rumah kita.
Beliau juga membahas tentang ketidak bolehan bagi suami menggauli isterinya yang sedang haid. Dari pembahasan ini, beliau memunculkan sebuah pertanyaan berupa, perbuatan apa saja yang dihalalkan bagi suami ketika ingin istimta’ (bersenang-senang) bersama isterinya yang sedang haid?
Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan sebuah solusi dari pertanyaan tersebut. Ketika isteri sedang mengalami haid, suami tetap boleh mengajaknya beristimta’ selama tidak melakukan persetubuhan. Misalnya, dengan cara bersentuhan, ciuman dan berpelukan. Dengan landasan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Majah berupa :
اصنعو كل شيئ الا الجماع
Artinya : berbuatlah kalian kepada segala sesuatu kecuali jimak
Bahkan didalam sebagian kitab-kitab fikih dijelaskan bahwa beristimta’ pada bagian himpitan bokong isteri hukumnya boleh. Terdapat banyak cara untuk beristimta’ bersama isteri. Namun, yang terpenting adalah menjauhi perbuatan jima’ yang memang dilarang oleh agama islam.
Pada pembahasan terakhir, beliau menutup pengajian pada kali ini dengan penjelasan tentang keharaman menggauli isteri lewat dubur (jalan belakang). Dengan landasan dalil berupa ayat al-quran Surat al-Baqarah ayat 223 :
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُم
Artinya : isteri-isterimu adalah ladang tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana yang kau hendaki
Sesuai pemahaman yang bisa al-Faqir tangkap dari penjelasan beliau adalah lafadz al-Harts pada ayat tersebut dipahami sebagai qubul (jalan depan). Sehingga ayat tersebut menjadi landasan tentang keharaman menyetubuhi isteri lewat jalur belakang (dubur), yang diistilahkan sebagai perbuatan Liwat sebagaimana yang al-Faqir ketahui.