Haji merupakan suatu ibadah yang kewajibannya menjadi gugur dengan di laksanakan secara individual. Namun, sebagian besar orang yang telah mampu akan biaya haji, mereka lebih memilih melaksanakan haji dengan mendahulukan orang tuanya dari pada diri pribadinya dengan berkeyakinan dia akan bisa melakukannya di tahun berikutnya.

Karena termasuk dari alasan mereka ialah kekhawatiran akan dijemputnya ajal orang tua sebelum menunaikan haji, dan juga sebagai rasa bentuk terima kasih terhadap orang tua, sehingga mereka memilih menghajikan kedua orang tuanya.

Lantas bolehkah hal itu dilakukan dengan berlandas alasan seperti diatas?

Dalam hal ini, imam Ibn Hajar al-Haitami menjelaskan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj juz 4 halaman 5

وهما على التراخى بشرط العزم على الفعل بعد … لا يجوز تأخير الموسع إلا إن غلب على الظن تمكنه منه

Artinya: “haji dan umroh kewajibannya tidak harus dilaksanakan seketika dengan syarat adanya niat untuk melakukannya di waktu mendatang… maka, tidak boleh mengakhirkan sesuatu yang longgar (pelaksanaannya) kecuali ada praduga kuat bahwa ia akan bisa melakukannya”

Dari keterangan diatas, jika seseorang mempunyai praduga kuat untuk bisa melakukan haji ditahun mendatang, maka ia diperbolehkan untuk menundanya.

Namun demikian, walaupun terdapat unsur kebolehan dengan adanya ketentuan di atas, dapat berakibat hukum makruh karena terdapat unsur mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah. Sebagaimana keterangan dalam kaidah fiqh yang tertera dalam kitab al-Asybah wa an-Nadhair halaman 180:

الإيثار بالقرب مكروه

Artinya: “mendahulukan orang lain dalam hal ibadah hukumnya adalah makruh”

Bahkan, ada sebagian pendapat yang mengatakan jika seseorang telah memiliki biaya yang memadai untuk melaksanakan haji hendaknya ia melaksanakannya dengan segera tanpa menunda-nunda. Sebagaimana yang dibahas oleh Syeikh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasyiyah al-Jamal jilid 2 halaman 373:

وقال مالك وابو حنيفة واحمد والمزني يجب على الفور ثم عندنا اذا أخر فمات تبينا انه مات عاصيا على الأصح لتفريطه

Artinya: “Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal dan imam al-Muzanni berkata: haji wajib dilakukan dengan segera. Kemudian menurut Imam as-Syafi’i apabila seseorang menunda haji kemudian meninggal, maka menurut qoul yang ashoh ia meninggal dalam keadaan bermaksiat karena kecerobohannya”

Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa seorang muslim yang telah mampu untuk menunaikan ibadah haji, dan ia memiliki praduga kuat untuk bisa menunaikan haji di tahun berikutnya, maka diperbolehkan menghajikan orang tuanya, walau ada konsekuensi hukum makruh.

Namun, dapat dihukumi bermaksiat (berdosa) jika ia memilih untuk menghajikan kedua orang tuanya kemudian ia tidak sempat untuk menunaikan ibadah haji untuk dirinya(meninggal). Hal tersebut terjadi karena kecerobohannya dalam menunda-nunda menunaikan suatu kewajiban.

Wallahu A’lam..

*Safilatul Khoirot (Mahasantri Semester 5 Ma’had Aly Nurul Jadid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?