Agama secara umum dan mendasar dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama dalam teks tersebut dapat dikatan sebagai sebuah doktrin. Dalam teorinya Karl Max menyebutkan bahwa agama adalah sebuah candu. Agama adalah bentuk ekspresi kesadaran manusia dari ketidaksempurnaan.

Agama menjadi candu yang menghinggapi masyarakat modern bukan dalam kerangka untuk menjalankan integrasi sosial, melainkan ketika agama itu dimaknai semata-mata dalam ekspresi simbolik dalam berbagai formula ritual. Bukankah salah satu parameter yang paling jelas untuk melihat keberadaan agama ketika berbagai ritual yang relevan dengannya masih dijalankan?

Ritual dalam konteks ini berarti berbagai tindakan nyata yang dapat dilihat secara kasat mata untuk memperlihatkan makna kesucian yang terdapat dalam ajaran relijius. Hal ini mengandung pemahaman bahwa ritual merupakan tindakan yang bersifat profan (keduniawian), tetapi orientasinya mengarah pada kekuatan yang suci (sacred) serta transendental. Agama hanya dapat hadir dalam berbagai ritual yang berfungsi untuk menjembatani antara wilayah yang profan dan wilayah yang sakral. Jadi, sebenarnya, agama mempunyai dua domain yang saling bertolak belakang (sakral-profan).

Namun, untuk mampu meraih yang suci itu sendiri hanya dapat dilalui dengan berbagai ritual yang dikerjakan dalam tataran yang profan. Sehingga, ritual memang menjadi garis demarkasi yang memberikan batasan tegas, namun seiring dengan itu juga menyatukan atau mendamaikan antara yang sakral dan yang profan.

Salah satu ritual paling sakral yang dijalani oleh penganut agama terbesar di Indonesia yakni para muslim adalah ritual menyambut bulan suci Ramadhan yang bersambung dengan perayaan hari raya Idul Idul Fitri. Ritual ini diawali dengan berpuasa selama satu bulan penuh dan di akhiri dengan hari kemenangan di bulan Syawal. Selama puasa Ramadhan umat muslim tidak melulu di anjurkan menahan lapar dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, namun juga dianjurkan melakukan pekerjaan sunnah lainnya untuk selalu mengupgrade kualitas puasa para muslim. Salah satu contohnya memperbanyak membaca Al-qur’an, bershodaqoh, membayar zakat fitrah, melaksanakan sholat tarawih, menghidupkan malam dengan sholat malam, dan menahan diri dari bergunjing.

Ibadah-ibadah di atas adalah ibadah yang bersifat profan namun bertujuan sakral yaitu mencapai ridho ilahi. Means-nya berada dalam domain profan, sedangkan ends-nya bermukim dalam domain yang sakral. Karena yang dapat diamati serta mampu dibicarakan dalam ritual ini adalah pada level means, maka yang disebut agama sebagai candu sudah pasti berlangsung dalam konteks ini.

Namun ada fenomena menarik yang terjadi di Indonesia atau di negara lainnya yakni perilaku konsumtif masyarakat muslim ketika menghadapi bulan suci Romadhan terlebih ketika menjelang hari kemenangan yakni Idul Fitri. Padahal agama mengajarkan kita untuk selalu memperhatikan nilai-nilai asketisme atau lazim disebut zuhud, yaitu sikap pola hidup sederhana ketika melakukan ibadah, terlebih saat kondisi seperti sekarang dimana negara bahkan dunia sedang mengalami pandemi covid-19.

Ketika mendekati Idul Fitri, terjadi lonjakan kegiatan di bidang perekonomian. Hal ini sudah menjadi budaya yang seakan menempel pada acara ritual keagamaan yang sakral. Perilaku berbelanja berlebihan atau konsumtif sering terjadi pada saat menjelang hari raya Idul Fitri. Dalam menyambut Idul Fitri, umumnya masyarakat muslim di Indonesia berbelanja produk-produk seperti pakaian, kendaraan, mebel, perhiasan emas sehingga penjualan produk-produk tersebut pada saat Idul Fitri mengalami kenaikan yang signifikan. Contohnya di kraksan atau wilayah berbasis madura lainnya ada istilah yang dinamakan ter-ater. Kegiatan ini dilakukan sehari menjelang hari raya dengan mengantarkan makanan kepada sanak famili dan juga keluarga besan. Hal ini masih terbilang kegiatan yang wajar-wajar saja bila diadakan dengan menu seadanyan. Namun budaya yang berkembang adalah menu utama yang harus tersaji adalah menu dengan olahan daging sapi. Dapat dibayangkan jika yang di hantarkan adalah 10 orang berapa porsi sapi yang harus di keluarkan.

Mall dan pusat perbelanjaan juga dipenuhi dan sesak oleh pengunjung. Hal ini identik dengan penyambutan hari raya dengan menggunakan baju baru. Padahal yang disunnahkan oleh nabi bukanlah baju baru. Namun baju layak terbaik yang dimiliki. Meskipun pandemi sedang melanda, para warga sekan tidak menggubris anjuran dirumah saja. Pusat perbelanjaan tetap ramai dan penuh sesak. Seakan tidak sah rasanya berhari raya tanpa baju baru.

Para produsen juga tak mau kalah dengan menampilkan iklan-iklan penuh nuansa ramadhan dan hari raya untuk terus menarik minat pembeli masyarakat. pesta pemotongan harga seakan-akan sengaja digelar untuk menyembuhkan dahaga masyarakat yang sedemikian tinggi untuk terus membeli dan memborong barang tanpa henti. Masyarakat gampang terpesona dengan iming-iming yang ditawarkan pedagang yang seolah-olah berbaik hati dengan menjalankan praktik diskon harga. Padahal, kalau disimak secara kritis, ke semua itu tidak lebih sebagai strategi untuk menggiring konsumen terkuras uangnya, apalagi menjelang pembagian uang THR (Tunjangan Hari Raya).

Maka ketika budaya-budaya konsumerisme seperti itu sudang mengakar pada masyarakat Indonesia, maka sudah seyogyanya untuk saling mengingatkan dan bijak dalam membelanjakan uang. Terlebih pada kondisi saat ini dimana semua kebutuhan mulai menipis perlahan akibat aktifitas yang tidak berjalan semestinya. Agama juga sudah mengajarkan bahaimana kita mengelola segala keuangan dengan bijak.

“Dan Dialah (Allah) yang menjadikan (untuk kamu) kebun-kebun yang menjalar tanamannya dan yang tidak menjalar dan pohon-pohon tamar (kurma) dan tanaman-tanaman yang berlainan (bentuk, rupa dan) rasanya dan buah zaitun dan delima,yang bersamaan (warnanya atau daunnya) dan tidak bersamaan (rasanya). Makanlah dari buahnya ketika ia berbuah dan keluarkanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik atau menuainya dan janganlah kamu melampau (pada apa-apa jua yang kamu makan atau belanjakan); sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas”.

 

Penulis : Ustzh. Clara Sinta Pratiwi (Alumnus Ma’had Aly Nurul Jadid)

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?