MahadAly.Enjhe – Pada kamis (12/11) lalu, tepatnya pada forum Seminar Nasional yang bertemakan “Memahami Islam di Perancis: Kontroversi, Penistaan Nabi dan Respons Fikih”, Kiai Imdad Rabbani menjadi salah satu narasumber yang diundang oleh panitia. Kiai Imdad menyampaikan tentang bagaimana perbedaan sudut dan bagaimana umat islam menyikapi kasus yang terjadi di Perancis tersebut.

Pada penyajiannya, Kiai Imdad menjelaskan fakta-fakta terkait penistaan agama yang dilakukan oleh orang barat terhadap simbol dan tuhan agama mereka, akan tetapi menurut mereka sendiri hal itu adalah wajar dan biasa-biasa saja.

Salah satu contohnya adalah kasus donkey-grey yang dilakukan oleh Gerrad Reve pada tahun 1966. Ia merupakan orang katolik Belanda yang membuat lukisan dirinya sedang bercinta dengan yesus, yang mana yesus menurut agama katolik adalah tuhannya. Dan dari hubungan percintaan itu kemudian melahirkan keledai karena itu kasus ini disebut sebagai donkey-greyer.

“Dan yang aneh, orang yang sudah segawat ini terhadap doktrin agamnya sendiri, itu masih ditunjuk sebagai penasehat tim penerjemah injil. Sudah dapat gambarannya kan ?.” komentar Kiai Imdad dihadapan para mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid.

Masih banyak kasus serupa yang dijelaskan. Seperti kasusnya Roberto Rosselini (1951), Andres Serrano (1987), Chriss Offil (1966), dan Marithe et Francois Girbaud (2005).

“Oleh karena itu, orang Perancis sekuler heran melihat respon umat islam pada kasus emmanuel Macroun : kok bisa seperti ini? Apa salahnya? Bahkan di Undang-undang Perancis, yang boleh itu menista agama tapi tidak boleh menista orang yang beragama. Karena manusia lebih mulia daripada tuhan. Kira-kira begitu.” Ungkap Kiai Imdad saat penyajian.

Kiai Imdad juga menjelaskan apa yang harus umat islam lakukan ada dua, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yakni menempuh jalur hukum. Dalam setiap pelaksanaan hukum, kita tidak bisa ujug-ujug menghakimi orang terdakwa melakukan kesalahan akan tetapi semuanya harus diselesaikan melalui jalur hukum yang resmi.

“Karena muslim itu bukan komunitas chaos, yang tidak jelas pemimpinnya. Muslim itu sejak awal diajari ketika ada masalah itu laporkan pada pemerintah, hakim. Atau keadilan. Bahwa berbagai hukuman berat tidak boleh dilakukan secara individu muslim.” terang Kiai Imdad.

Faktor kedua adalah faktor internal berupa evaluasi dan perbaikin individual, perbaikan sosial serta meningkatkan kesadaran “intelektual”.

Santri belajar yang serius. Anda mau bela nabi bagaimana kalau anda tidak kenal dengan apa yang anda bela. Bagaimana anda merasakan mahabbah itu bila anda tidak mengenalnya. Karena itu pembelaan yang terbaik yang bisa anda lakukan sekarang. Belajar sekeras-kerasnya. Jadi kalau anda ingat peristiwa Perancis, ada charlie hibdo misalnya, wah berarti saya harus belajar. Itu menjadi titik gerak anda belajar lebih giat lagi.” terang Kiai Imdad.

Secara sosial kita harus bekerjasama berbagai elemen masyarakat. Karena saat ini kemajuan fisik tidak berbanding lurus dengan kemajuan ruhan yang menjadi standar kemajuan umat islam.”Karena di sini ma’had aly, disini saya ingin menekan pentingnya kesadaran intelektual.” Tambah kiai Imdad.

Sebagaimana kasus-kasus orang Eropa bagaimana memandang doktrin agama mereka, kita perlu berbeda cara pandang terhadap doktrin agama kita. Lalu apa yang beda?

Kiai Imdad menjelaskan, bahwa kita berbeda cara pandang dalam hal yang sangat mendasar sekali: tuhan, alam semesta, manusia, agama, ilmu, kebenaran, kebebasan, kebahagiaan, kemajuan dll.

“Tuhan itu siapa? Kalau bagi kita tuhan itu segalanya. Tuhan itu rukun iman pertama dan iman seterusnya adalah kembali kepada tuhan. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Tapi bagi mereka tuhan itu hanya salah satu bagian yang tidak penting, seperti tadi: dibuat lukisan, dll.” terang Kiai Imdad.

Konsep-konsep dasar ini harus benar. Karena konsep-konsep dasar ini yang akan berpengaruh pada sikap kita dan perbuatan kita selanjutnya. Setelah kita tahu perbedaan kita dengan barat, muslim harus memiliki kesadaran mengenai siapa dirinya secara keyakinan, kesadaran pilihan sikap dll dan mengenai konteks waktu dan tempat dia hidup sekarang (khususnya barat). Karena segala sesuatu biasanya dapat diketahui dari kebalikannya.

Apabila kita tidak mengenal, tahu dan sadar barat itu seperti apa, potensi cara berpikir, potensi cara memilih sikap barat akan masuk pada diri kita. Kita mau atau tidak.

Oleh karena itu kita perlu memiliki daya kritis dan filter terhadap barat. Kalau tidak begitu, bisa jadi ada santri yang kuliah di barat, terpesona dengan konseptual dan metodologi yang canggih, sehingga cara berpikir dan bersikapnya seperti barat. Daya kritis itu kita dapat dari mana? Konsep-konsep dasar ini harus selesai pada diri kita.

“Memang saat ini, belajar dengan serius itu hukumnya fardhu ‘ain. Karena kalau tidak serius, sangat banyak sekali hal-hal yang menggoyahkan. Seperti ada ungkapan ‘tidak ada hukum tuhan’.

“Sekarang itu, kita tidak kenal dengan khazanah ulama kita sendiri yang itu sebetulnya lebih canggih andaikan mengetahuinya. Sehingga daya kritis kita untuk tidak memadai dengan barat. Kita sama-sama belajar. Sama-sama membangkitkan jihad intelektual.” terang Kiai Imdad.

foto : dari Multimedia Pondok Pesantren Nurul Jadid

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?