Kesalehan memang merupakan perkara moral yang tidak bisa dipersepsikan dengan indera. Tetapi setidaknya ada indikator (sima) yang menjadi penanda kesalehan seseorang, antara lain sebagaimana disebutkan Allah dalam Alqur’an tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
سيماهم في وجوههم من أثر السجود (الفتح:29)
“Tanda mereka ada di wajah-wajah mereka berupa bekas sujud” (QS. Al-Fath:29)
Pertanyaannya, apakah tanda itu? Sebagian orang memahaminya tanda hitam di dahi yang timbul lantaran banyak bersujud. Tidak dapat disangkal, memang, bahwa tanda hitam di jidat itu menandakan bahwa orang yang bersangkutan banyak bersujud. Tetapi apakah itu yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini, tunggu dulu.
Dari redaksinya, jelas ayat itu menyebutkan bahwa tanda itu adanya di wajah (في وجوههم), bukan di dahi yang merupakan bagian dari wajah. Seandainya yang dimaksudkan adalah tanda hitam di jidat pastilah Allah mengatakan: (سيماهم في جباههم). Tetapi ini jelas di wajah. Maka tidak bisa lain yang dimaksudkan adalah sesuatu yang lain selain tanda hitam di jidat itu.
Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘sima’ dalam ayat di atas adalah cahaya wajah (nûr al-wajh), yakni cahaya yg memancar dari wajah seseorang sebagai buah dari banyaknya melakukan shalat-shalat sunnah, terutama qiyam al-lail di sepertiga malam yang terakhir, dan berlama-lama dalam sujud. Kata ‘sujud’ sendiri dalam teks-teks suci agama kerap digunakan dalam arti shalat, misalnya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada seseorang yang memohon kepada beliau untuk menyertai beliau ke surga. Beliau bersabda:
أعني على ذلك بكثرة السجود
“Bantulah aku untuk itu dengan banyak bersujud”.
Tidak bisa lain yang dimaksudkan dengan sujud di sini adalah shalat, sebab tidak boleh ada sujud di luar shalat atau tanpa tilawah atau tanpa maksud bersyukur atas suatu nikmat yang baru turun.
Di sini menjadi jelas bahwa sima yang dimaksudkan dalam ayat adalah cahaya yang memancar dari wajah orang saleh yang sangat menyejukkan saat dipandang. Cahaya itu sendiri bukan cahaya fisik yg bisa dicerna dengan mata kepala, tetapi cahaya spiritual yang hanya dapat dicerna dengan hati (intuisi), sedang mata fisik hanya kebagian rasa sejuk saat memandangi wajah si saleh. Kira-kira itulah ‘aura’ dalam bahasa kontemporer dan itulah ‘sima’ bekas sujud, wallahu a’lam []
Penulis : KH. Zainul Mu’in Husni, Lc (Dosen Mahad Aly Nurul Jadid)