Bukan suatu yang asing di benak masyarakat muslim, khususnya di Indonesia bahwa pemahaman mereka akan turunnya al-Qur’an yakni jatuh pada malam lailatul qadr. Namun, sebelum membahasa hal itu, kian terjadi pertautan dalam diri penulis dengan istilah nuzulul qur’an yang berarti “turunnya al-qur’an” dalam artian proses perpindahan al-qur’an dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Bukankah al-qur’an adalah sifat Allah yang qadim? dengan demikian, maka sifat tersebut tidak membutuhkan waktu dan tempat.
Terkait hal di atas, sangat urgen penulis jelaskan pendapat para ulama mengenai maksud nuzulul qur’an (turunnya al-qur’an). Secara umum, ulama-ulama salaf enggan menafsirkan kata turun yang dikaitkan dengan al-qur’an meskipun dalam makna majazinya, karna dalam keyakinan mereka al-qur’an merupakan sifat Allah yang qadim (telah ada sebelum adanya watu dan tempat), sehingga tidak layak untuk disandingkan dengan kata “turun” (dari atas ke bawah) yang notabene membutuhkan waktu dan tempat. Oleh karenanya, dengan penuh ketawadu’an mereka berkata wallāhu a’lām.
Beda halnya dengan ulama salaf, ulama khalaf menurut Quraish Shihab memahami kata “turun” dalam arti ditampakkan atau diperkenalkannya al-Qur’an dipentas bumi pada waktu dan tempat tertentu. Dalam artian, meskipun al-qur’an qadim, tetapi menurut mereka wujudnya masih belum diketahui atau hadir dipentas bumi ini. Nah, ketika al-qur’an pertama kali diterima oleh nabi muhammad, maka ketika itu nampaklah dia.
Dalam menengahi pendapat di atas menarik kiranya jika penulis paparkan apa yang diungkapkan oleh Quraish Shihab, menurutnya jika kita memahami arti perpindahan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, baik secara material maupun immaterial, baik dari suatu tempat ataupun tidak, maka agaknya kita tidak perlu mengalami kesulitan yang berarti untuk memahaminya. Bukankah al-Qur’an dari Allah yang Maha Tinggi, kemudian diberikan pada manusia? Tidakkah pemberian itu diartikan sebagai “diturunkan” dari sisi Allah pada manusia dan ini adalah perpindahan kedudukan dan derajatnya ?
Banyak orang yang mengatakan turunnya al-Qur’an terjadi pada malam lailatul qadr berlandaskan QS al-Qadr [97]: 1. “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (lailatul qadr).” Di sisi lain kita dapat berkata bahwa al-Qur’an menyebutkan bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya al-Qur’an (QS al-Baqarah [2]:185) “bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” dan itu terjadi malam hari tanpa menetapkan tanggal tertentu. Sementara ulama menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada 17 Ramadhan, dengan merujuk pada firman-Nya:
إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Anfal [8]: 41).
Mereka memahami hari al-furqan sebagai hari turunnya al-Qur’an, sedangkan bertemunya dua pasukan dipersamakan dengan perang Badar. Di sisi lain, mereka berpendapat bahwa perang badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, dengan demikian bahwa malam turunnya al-Qur’an terjadi pada malam 17 Ramadhan itu. Meskipun begitu mereka menegaskan bahwa kesamaan tersebut terletak pada tanggalnya bukan tahun terjadinya peperangan tersebut, karena secara pasti wahyu-wahyu al-Qur’an sudah sangat banyak yang turun sebelum nabi hijrah ke Madinah.
Pendapat ini tidak didukung oleh sebagian ulama lainnya, antara lain karena al-Furqan pada ayat di atas tidak harus diartikan sebagai al-Qur’an. Boleh jadi ia adalah pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Sehingga, hari perang Badar merupakan hari pemisah kebenaran dan kebatilan. Begitu juga, yang diturunkan Allah pada hari itu bisa jadi bukan al-Qur’an, tapi yang diturunkan-Nya adalah malaikat-malaikat, sebagaimana bunyi firman-Nya dalam QS al-Anfal [8]: 9.
Melihat banyaknya pendapat yang bertentangan terkait waktu turunnya al-Qur’an. Para ulama terbagi ke dalam dua mazhab:
1) Mazhab pertama; dengan mendasarkan pendapatmya pada riwayat dari Ibnu Abbas, mereka mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an pada ayat-ayat di atas adalah turunnya al-Qur’an ke Baitul ‘Izzah di langit dunia untuk menunjukkan pada para malaikatnya betapa besar masalah ini. Selanjutnya al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad saw, secara bertahap selama dua puluh tiga tahun lamanya, sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang mengiringi Nabi sampai wafatnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur ulama.
2) Mazhab kedua; yang berlandaskan pada pendapatnya al-Sya’bi, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an pada ayat-ayat di atas adalah permulaan turunnya al-Qur’an terjadi pada malam lailatul qadr di bulan Ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi. Kemudian turun secar bertahap sesuai dengan peristiwa yang mengirinya selama dua puluh tiga tahun. Dengan demikian, menurut mazhab ini cara turun al-Qur’an hanyalah satu macam yaitu turun secara bertahap pada Rasulullah saw.
Meskipun pendapat ulama berbeda-beda terkait waktu pasti turunnya al-Qur’an, namun melihat dzahirnya ayat-ayat yang mereka selisihkan, hemat penulis semua ayat tersebut mengindikasikan turunnya al-Qur’an terjadi pada bulan Ramadhan, yang mana hal ini mengisyaratkan bahwasanya sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadhan, dan yang mempelajarinya diharapkan dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasan di dalamnya.