Perkembangan umat islam secara kuantitas mengalami kenaikan secara signifikan sejak di bawa oleh Rasulullah hingga saat ini. Persebaran umat islam telah melintasi benua-benua di dunia, memasuki suku-suku dan bangsa-bangsa. Perkembangan tersebut patut di syukuri, kerena agama Islam di terima oleh semua etnis, ras, golongan dan bangsa. Konsekwensinya, permasalahan keagamaan (masaail al-diniyah)  yang di hadapi oleh masyarakat semakin rumit dan komplek, mengingat masing-masing dari mereka mempunyai kultur dan budaya yang berbeda. Dengan demikian, perlu adanya istinbatul ahkam (penggalian hukum) untuk menjawab tantangan yang mengikuti arh perkembangan zaman.

Maka sejak Dinasti Umayah, muncul mujtahid-mujtahid yang ber-ijtihad mengenai hukum islam, kemudian  hasil ijtihad tersebut di sebarkan oleh santri-santri dan di kodifikasi dalam bentuk kitab sehingga mengkristal menjadi sebuah madzhab fikih yang mempunyai pengikut tersendiri.

Setelah madzhab fikih berkembang pesat dan terkodifikasi dengan baik aktifitas umat menjadi mudah dan instan karena memang fikih jika di tinjau secara istilah (fi istilah) sendiri adalah suatu ilmu tentang hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan amal praktis yang di ambil dari dalil-dalil tafsilly (terperinci).

Namun, hal ini berimplikasi terhadap aktifitas ijtihad itu sendiri, ketika umat islam memandang bahwa permasalahan hukum islam telah selesai, seolah-olah telah menjawab semua persoalan kehidupan yang di hadapi umat Islam (kenyataannya tidak). Padahal masih banyak masalah keagamaan kontemporer masail aldiniyah al-waqiiyh) yang mengalami kekosongan hukum karena tidak di temukan dalam kitab fikih yang di karang ratusan tahun silam.

Hal ini terjadi karena pertama, hukum islam terabstraksi dalam kitab-kitab fikih lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu di letakkan sebagai justifikasi terhadap tuntunan perunahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum islam di tuntut untuk akomodatif terhadap persoalan umat tanpa harus kehilangan dasar-dasar/prinsip prinsip dasarnya. kedua, rumusan fikih yang di kontruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak lagi memadai menjawab persoalan yang terjadi saat ini. (Lutfi Hadi, 2015).

Sejak saat itu tradisi ijtihad di kalangan umat Islam mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan sebagian sejarawan mencatat adanya asru jumud wa taqlid (masa stagnansi dan taqlid) dimana disitu terjadi kekeringan ijthad.

Tertutupnya pintu itihad di sinyalir di lakukan oleh hujjatul islam, Imam Al-Ghazali, tuduhan itusebenarnya tidak berdasar mengingat Imam al-Ghazali tidak bermaksud demikian, ia memberikan kualifikasi tertentu bagi yang mau ijithad agar tidak sembarang orang yang tidka mempunyai kualifikasi itu ikut nimbung dalam aktifitas ijtihad yang terkenal pelik ini.

Menganai hal ini, M. Ali Haedar dalam bukunya, “NU dan Islam di Indonesia:  Pendekatan Fikih Politik”, menjelaskan alasan Imam Ghazali memberikan “kriteria khusus” bagi seorang mutahid. Menurutnya, isu ijtihad telah tertutup terutama terjadi pada zaman Imam Haramain, al-Juwaini, dan Imam Ghazali. sebenarnya di maksudkan bukanlah ketidak mungkinan adanya ijtihad baru. Akan tetapi mereka lakukan karena berkaitan dengan konteks zaman itu, dimana kebebasan ijithad ternyata menimbulkan dampak yang luas. Muncul beragam perbedaan yang bertambah sulit pemecahannya. Etika ilmiah untuk berijtihad tidak lagi menjadi perhatian yang memadai. Setiap orang sekan bebas “naik panggung”untuk melakukan ijtihad.  Kondisi yang demikian tentu berdampak negatif.  (M. Ali Haidar)

Analoginya sederhana, untuk menerbangkan menjadi pilot pesawat harus punya lisensi khusu, yang mana untuk memperoleh harus melewati serangkainpendidikan khusus dan tes khusus, masak ia  dalam aturan  agama yang notebenne untuk keselamatan dunia akhirat kita tidak mau menetapkan standarisasi.tentu kita sepakat, harus ada kualifikasi tertentu untuk hal sepenting agama ini.

Berkaitan aktiffitas ijtihad, di Indonesia sendiri banyak lembaga “Ijtihad” atau orang indonesi menyebutnya lembaga “fatwa” yang berada dibawah naungan beberapa ormas seperti majlis tarjihnya Muhammadiyah, Dewan Fatwanya al-Irsyad dan Lajnah Bahtsul Masaailnya Nahdlaul Ulama’. Khusus yang kami sebutkan terakhir akan menjadi pembahsan lebih lanjut dalam artikel ini. Lajnah Bahtsul Masaail yang notabenenya adalah lembaga fatwa milik NU dari awal menegaskan untuk bermadzhab. Namun jangan anggap NU anti ijtihad serta memandang ijtihad telah tertutup. NU dalam lebih bersikap ikhtiath (hati hati), tidak menutup rapat ijtihad hingga terjadi kejumudan.  tidak tepat juga dikatakan  membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya  hingga terjadi liberalisasi yang tak terkendali. Bagi  NU, yang memenuhi kualifikasi kelimuan tingkat mujtahid dipersilahkan berijtihad, sebaliknya bagi yang tidak memenui kualifikasi mujtahid harus mengikuti aturan-aturan yang telah di ijtihadkan oleh ahlinya.

Sebagai konsekwensi dari sikapnya yang memutuskan untuk bermadzhab, maka dalam amaliah nya,  NU harus mengikuti pola hukum yang di tetapkan madhzabnya, termasuk juga dalam memformulasikan hukum islam, ketika ada permasalahan yang menyeruak. Maka tak heran jika kemudian muncul stetmen bahwa bahtsul masa’il bukanlah sebuah ijtihad, ia hanya ‘ijtihad’statis mengingat disana tidak ada inovasi pemikirian, tidak ada sesuatu yang baru yang di ijtihadkan,  lembaga itu “hanyalah” mengutip produk ijtihad yang sudah ada di kitab-kitab mu’tabar karya ulama’ terdahulu.

Namun setelah Munas Alim Ulama NU tahun 1992, NU metetapkan pola baru dalam sistem istinbatnya, yang mana meliputi tiga tahap, yaitu: (1) Metode Qauly (dengan penekanan pada pendekatan tekstual); (2) Metode Ilhâqy (Ilhâq al-masâil bi nadhâirihâ), yakni melakukan proses analogi (pola kerja qiyasy) dengan menjadikan pendapat ulama dalam kutub al-madzahib sebagai acuannya (muhlaq ‘alaih); (3) Metode manhaji dengan Istinbâth Jama’î, dengan menggunakan cara kerja (metode) atau manhaj yang ditempuh oleh ulama mazhab. (Ahmad Arifi,2009).

Transformasi metode istinbat ala Bahtsul masaail telah memberikan corak baru dalam  beristinbat. Model ijtihad yang di kembangkan pesantren adalah model tetap apresiatif terhadap karya-karya ulama’ terdahulu sekaligus tetap menggunakan paradigma nalar (manhaji) meski tetap menggunakan pola dan metode yang di terapkan imam madzhab. Hal ini menjadikan bahtsul masail mengakomodir dua hal yang bertolak belakang dalam beristinbat, lama (qodim) dan baru (Jadid). Al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik) sebagai jargonya

Dengan demikian, secara tidak langsung, bahtsul masaail, telah menganut pola istinbat yang statis (tatis/sta·tis/ a dalam keadaan diam (tidak bergerak, tidak aktif, tidak berubah keadaannya); tetap) sekaligus progresif ( ke arah kemajuan; 2 berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk);. Pola istinbat stastis di maksudkan agar tidak terjebak kedalam “ijtihad buta” dan progresif dimaksudkan agar tidak terjebak kedalam “taqlid buta”.

Istilah PentingStatis

 

Ahmad Qusyairi As-Salimy

Alumni Ma’had Aly Nurul Jadid Angkatan 2015

 

 

 

By

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?