Memasuki bulan Dzulhijjah, tidak terasa tinggal menghitung jari, umat Islam akan melaksanakan hari raya kurban atau yang kerap disebut dengan hari raya Idul Adha. Membahas bulan Dzulhijjah yang merupakan salah satu dari bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) umat Islam, terdapat banyak sekali keutamaan dan amalan yang dapat dilakukan di bulan tersebut, antara lain adalah berkurban.
Berkurban berarti menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, dan dilaksanakan dari tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah. Hukum melaksanakan kurban adalah sunnah muakkad, dengan dalil yang mendasarinya terdapat dalam surah Al-Hajj ayat 34:
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوْا اسْمَ اللّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْ بَهِيْمَةٍ الأَنْعَامِ
“Dan bagi setiap umat, telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.”
Meskipun berkurban merupakan sunnah, namun meninggalkan pelaksanaan kurban bagi seseorang yang mampu melakukannya memiliki hukum makruh. Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri, II/555:
و قال الشافعي لا أرخص في تركها لمن قدر عليها و مراده رضي الله عنه أنه يكره تركها للقادر عليها
“Imam Syafii berkata, “Aku tidak memberi keringanan bagi orang mampu untuk tidak melaksanakan kurban” Imam Baijuri menjelaskan bahwasannya maksudnya adalah dimakruhkan meninggalkan ibadah kurban bagi orang yang mampu melaksanakannya.”
Dalam perkembangan teknologi saat ini, semua hal dapat diperoleh dengan cara instan. Kemajuan ini membawa dampak positif dalam mempermudah umat Islam dalam beribadah, termasuk dalam jasa kurban. Saat ini, banyak ditemui layanan jasa kurban secara online. Cukup dengan mentransfer sejumlah uang sesuai dengan harga hewan yang akan dikurbankan dan mengisi daftar nama orang yang hendak berkurban.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, “Bagaimanakah hukum berkurban via transfer tersebut?”
Menurut para ulama, praktik tersebut dapat dibenarkan. Sayyid Abu Bakr Ad-Dimyati menjelaskan :
اَمَّا نَقْلُ دَرَاهِمَ مِنْ بَلَدٍ اِلَى بَلَدِ أُخْرَى لِيَشْتَرِيَ بِهَا أُضْحِيَّةً فِيْهَا فَهُوَ جَائز
“Mentransfer sejumlah uang dirham dari suatu daerah agar dibelikan hewan untuk berkurban di daerah lain diperbolehkan.”
Dalam ranah fiqih, praktik tersebut masuk dalam kategori wakalah (perwakilan), di mana orang yang berkurban telah mewakilkan kepada pihak yang menerima jasa terkait segala urusan yang berkaitan dengan kurban, mulai dari pembelian hewan, penyembelihan, hingga pendistribusian daging hewan. Syekh Sulaiman Al-Qurdi menegaskan fatwanya :
وَيَجُوْزُ التَّوْكِيْلُ فِيْ شِرَاءِ الاُضْحِيَّةِ وَالعَقِيْقَةِ وَفِيْ ذَبْحِهَا وَلَوْ بِبَلَدٍ غَيْرِ بَلَدِ المُضَحَّى وَالعَاق
“Mewakilkan seseorang untuk membeli hewan kurban dan hewan aqiqah serta menyembelihnya, meskipun dilakukan di luar daerah orang yang berkurban atau aqiqah, diperbolehkan.” (I’anah At-Thalibin, II/381).
Terkait niat, orang yang berkurban (pemesan) dapat berniat berkurban saat mentransfer uangnya, atau juga dapat mewakilkan niat berkurban kepada pihak yang menerima jasa kurban sebagai wakilnya. Imam Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan:
وَإِنْ وَكَّلَ بِالذَّبْحِ نَوَى عِنْدَ إِعْطَاءِ الوَكِيْلِ….وَلَهَ تَفْوِيْضُهَا إِلَيْهِ أيْضًا
“Apabila seseorang mewakilkan penyembelihan, maka ia harus berniat berkurban saat memberikannya kepada wakil, atau boleh juga memasrahkan niat berkurban kepada wakil.” (Hasyiah Al-Qulyubi, IV/254).
Wallahu a’lam.