Sekilas Tentang Muallif

Kitab al-Mu’jam al-Lathif merupakan karya seorang ulama kelahiran kota Tarim pada hari senin 28 Jumada ats-Tsaniyah 1331 H yang bernama al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri.

al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri menempuh pendidikan hingga matang di kota Tarim, Hadramaut. Beliau banyak menimba ilmu dari para sadah dan ulama di zamannya. Guru-guru beliau di antaranya adalah ayah beliau sendiri yaitu al-Faqih al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiri seorang mufti Hadramaut sekaligus pengarang kitab al-Yaqut an-Nafis fi Madzhabi Ibn Idris dan kitab Nail ar-Raja’ bi Syarhi Safinah an-Naja’, Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri pengasuh Rubath Tarim, al-Allamah al-Habib Abdullah bin ‘Idrus al-‘Aydrus, al-Allamah al-Habib Abdul Bari bin Syaikh al-‘Aydrus, dan al-Allamah al-Ustadz Muhammad bin Hasyim bin Thohir al-Alawi.

Selain tokoh-tokoh lokal di atas, ada juga seorang ulama ahli hadits yang bernama Syaikh Umar bin Hamdan dari Haramain juga pernah memberikan ijazah dan meriwayatkan hadits al-musalsal bil awwaliyyah kepada beliau disaat kunjungannya ke kota Tarim. Di bawah bimbingan para ulama inilah, al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri mempelajari berbagai disiplin keilmuan seperti ilmu tafsir, ilmu fiqh, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan selainnya.

Setelah mencapai kematangan dalam keilmuan diusianya yang masih cukup muda, beliau mulai mengajar di berbagai ma’had di Hadramaut dan di daerah lainnya. Banyak anak didiknya yang berhasil dalam didikan beliau. Selain kesibukan mengajar dan memberikan faidah kepada para pelajar, beliau juga menyibukkan dirinya dalam menulis dan mengarang kitab yang berhubungan dengan ilmu dan sastra.

Kitab paling agung yang beliau karang adalah Syarh al-Yaqut an-Nafis atau ath-Thariqah al-Haditsah li at-Tadris fi kitab al-Yaqut an-Nafis sebuah kitab syarah terhadap kitab al-Yaqut an-Nafis yang dikarang oleh ayahnya dan sering menjadi rujukan dalam berbagai forum bahtsul masail.

Selain Syarh al-Yaqut an-Nafis, beliau juga memiliki beberapa karya lainnya yaitu kitab Tadrib al-Rawi fi ar-Radd ‘ala asy-Syaikh ath-Thanthawi, kitab Sirah as-Salaf min Bani ‘Alawiyyin al-Husainiyyin, kitab Adwar at-Tarikh al-Hadrami, kitab al-Wahdah al-Islamiyyah, kitab Dawa’ al-Ma’lul, kitab Mandzumah al-Yawaqit min Fann al-Mawaqit, dan kitab al-Mu’jam al-Lathif sendiri.

Selain seorang muarrikh (pakar sejarah) dan faqih (pakar fiqh), al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri juga ahli dalam bidang sastra, tak heran jika al-Habib Ahmad bin Umar asy-Syathiri orang tua beliau sendiri memberikan sanjungan terhadap beliau. Al-Habib Ahmad berkata:

إنّ ابني محمّدا هو أوسع منّي في العلوم العربيّة والأدبيّة

“Sesungguhnya putraku yang bernama Muhammad, ia lebih luas pengetahuannya dalam ilmu linguistik Arab dan Kesusastraan dari pada diriku”

Dedikasi beliau terhadap ilmu sangat patut untuk dijadikan sebuah keteladanan. Hari demi hari beliau habiskan untuk menghafal dan muthola’ah berbagai kitab, mulai dari kitab yang berhubungan dengan ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, sirah nabawiyyah, tarikh (sejarah), nahwu, sastra arab, bayan, sampai ilmu falak.

Sedangkan hafalan beliau juga sangat banyak, antara lain: Nadzom Jauharah at-Tauhid karya Syaikh Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan bin Ali al-Laqqani al-Maliki al-Misri dalam bidang ilmu tauhid, Nadzom Alfiyyah karya Syaikh Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusi (Ibn Malik) dalam bidang ilmu nahwu, Nadzom as-Sullam al-Munawroq fi Ilmi al-Mantiq karya Syaikh Abdurrahman al-Akhdlori dalam bidang ilmu mantiq, Nadzom Zubad (Shofwah az-Zubad/Alfiyyah az-Zubad) karya Syaikh Ahmad bin Husain bin Hasan bin Ali bin Yusuf bin Ali bin Arsalan/Ruslan (Ibn Ruslan) dalam bidang ilmu fiqh. Sampai akhirnya beliau wafat pada tanggal 4 Ramadlan 1422 H di Jeddah, Kerajaan Arab Saudi sebagai seorang pecinta dan pelayan ilmu.

 

Alasan Penulisan dan Substansi Kitab al-Mu’jam al-Lathif

                al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri menulis kitab ini dengan tujuan mengajak kepada khalayak terutama kalangan habaib sendiri untuk senantiasa mengikuti dan meniru langkah mereka di dalam ilmunya, amalnya, serta berakhlaq seperti akhlaq mereka. Selain itu, beliau menulis kitab ini supaya lebih mempermudah untuk mengetahui sebab-sebab penamaan kunyah dan laqab para sadah Bani Alawi serta untuk mempermudah mengetahui nasab mereka.

Kitab al-Mu’jam al-Lathif li Asbab al-Alqab wa al-Kuna fi an-Nasab asy-Syarif li Qabaili wa Buthuni as-Sadah Bani Alawi ini merupakan sebuah ensiklopedia yang mengupas tuntas tentang kabilah sadah Bani Alawi serta sebab-sebab penamaan laqab dan kunyah mereka. Kitab ini dinamakan mu’jam karena pembahasan di dalamnya disusun sesuai urutan huruf hijaiyah. Semisal pembaca ingin mengetahui tentang marga as-Segaf/as-Saqqaf, maka ia bisa merujuk pada pembahasan yang diawali dengan huruf sin.

Berbicara marga as-Saqqaf/as-Segaf, orang yang pertama kali diberi gelar as-Saqqaf adalah waliyullah al-Muqaddam ats-Tsani al-Imam Abdurrahman bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam.

Para ulama hakikat dan para wali yang arif memberikan laqab/gelar as-Saqqaf kepada beliau—sebagaimana dikatakan oleh as-Sayyid Muhammad bin Abi Bakr asy-Syilli Ba ‘Alawi pengarang kitab al-Masyra’ ar-Rawi fi Manaqib as-Sadah al-Kiram Aali Abi ‘Alawi— karena beliau menutupi hal nya (hal dalam ilmu tasawwuf diartikan sebagai keadaan mental atau kondisi spiritual) dari para penduduk di zamannya.

Beliau tidak mengaku bahwa dirinya adalah orang yang memiliki hal dan maqam. Beliau tidak menisbahkan ilmu dan amal pada dirinya, pun juga beliau sangat tidak menyukai kemasyhuran. Selain itu, pemberian gelar tersebut karena beliau mempunyai derajat yang tinggi dari para wali di zamannya bagaikan atap (arab: as-Saqfu) bagi rumah. (al-Mu’jam al-Lathif halaman 101-102)

Nama, laqob, maupun kunyah kalangan Alawiyyah ini belum populer dan belum tersebar luas kecuali setelah mereka memiliki banyak kelompok (kabilah), dan hal ini  terjadi setelah abad ke 8 hijriyah. Tujuan dari pada pemberian laqob atau kunyah pada mereka yaitu sebagai media ta’aruf (saling mengenal) dan pembeda, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ. (الحجرات: 13)

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kitab ini dicetak oleh ‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’ Jeddah Kerajaan Arab Saudi dengan jumlah 213 halaman beserta halaman cover. Secara umum, kitab ini memuat sepuluh pembahasan:

pertama, muqoddimah tentang ilmu nasab. Kedua, perihal nasab setelah kedatangan Islam. Ketiga, hakikat nasab dan menolak syubhat. Keempat, contoh percakapan ahli nasab terdahulu. Kelima, perhatian para Sahabat dan setelahnya terhadap ilmu nasab. Kelima, nash syar’i tentang ketetapan nasab. Keenam, kitab-kitab nasab di masa kodifikasi teks-teks keagamaan. Ketujuh, penyebutan nasab di dalam kitab-kitab tarikh, sirah, tarajim, dan adab (berkaitan dengan sastra arab). Kedelapan, kitab-kitab nasab yang spesifik menjelaskan nasab ahlil bayt. Kesembilan, perihal bangsa arab dan hadromi yang sangat menjaga nasab mereka. Kesepuluh, sebab-sebab penamaan laqab dan kunyah sadah bani Alawi.

Sebagai penutup, sebagaimana telah disinggung dalam muqoddimah kitab al-Mu’jam al-Lathif di halaman 11, al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri mengungkapkan bahwa ilmu nasab merupakan ilmu yang membahas pencabangan suatu keluarga atau kabilah dan garis keturunan mereka baik anak dari bapak (Far’ ‘an Ab), bapak dari anak (Ab ‘an Far’), bapak dari kakek (Ab ‘an Jadd) dan seterusnya, demikian pula dari jalur perempuan.

Ilmu nasab ini merupakan salah satu rumpun ilmu yang sangat diperhatikan oleh banyak kalangan, terutama bangsa Arab baik di masa jahiliyyah maupun setelah datangnya Islam. Ada perbedaan yang cukup menonjol dalam hal ini, pada masa jahiliyyah nasab hanya dijadikan sebuah objek dan ajang kebanggaan, seolah-olah mereka menjadikan nasab sebagai kedok semata tanpa memperhatikan esensi dari pada nasab tersebut

Sedangkan Islam datang untuk mencerahkan pandangan dan anggapan yang telah mengakar pada diri mereka di masa jahiliyyah bahwa nasab bukan hanya dijadikan objek kebanggaan semata akan tetapi nasab mulia harus disertai dengan ilmu dan ketakwaan. Wallaahu a’lam.

*Ust. Alfan Jamil (Mursyid Ma’had Aly Nurul Jadid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?