Sholat lima waktu hukumnya wajib, puasa senin kamis hukumnya sunnah, sikat gigi pada bulan siang ramadhan hukumnya makruh, zina hukumnya haram dan makan dan minum hukumnya mubah.
Istilah wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah tersebut dalam kajian ushul fiqh di sebut hukum taklifi. Mari kita ajukan pertanyaan mendasar, apa yang di maksud dengan hukum taklifi itu?
Dalam kitab al-Wajiz fi al-ilmi al-ushul, Dr. Wahbah az-Zuhaily mendefinisikan hukum taklifi sebagai berikut
ما اقتضى طلب فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه
Sesuatu yang menuntut mukallaf untuk melakukan pekerjaan atau melarangnya atau juga memberikan pilihan untuk melakaukan atau tidak.
Mengingat tuntutan syari’ itu bervariasi maka hukum taklifi di bagi menjadi lima bagian sesuai banyaknya variasi.
Apabila tuntutan untuk melakukan itu di nyatakan dengan tegas di sebut ijab (wajib). Bagi orang yang melaksanakan tuntutan ini akan di beri pahala sebaliknya jika di tinggalkan akan mendapat siksa. Misalnya firman Allah SWT di bawah ini
اقيموا الصلاة
Artinya: Dirikanlah sholat
كتب عليكم الصيام( البقرة:٢/١٨٣)
Artinya: Puasa di wajibakan bagi kalian
خذ من اموالهم صدقة (التوبة:٩/١٠٣)
Artinya: Ambillah dari harta kalian sebagai zakat
Ketiga ayat di atas menunjukkan tuntunan yang tegas sehingga melahirkan produk hukum wajib. Sholat, puasa dan zakat semuanya hukumnya wajib berdasarkan ayat di atas.
Namun jika tuntutan untuk melakukan susuatu itu di nyatakan dengan tidak tegas (ghaira jazim), syariat menyebutnya sebagai nadb (sunnah). Nabd sendiri adalah sesuatu yang jika di kerjakan mendapat pahala tapi apabila di tinggalkan tidak akan mendapat siksa. contoh nadb (sunnah) adalah firman Allah SWT tentang pencatatan utang-piutang
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dalam ayat ini ada kata kata yang menggunakan redaksi tholab (menuntut) yakni فَٱكْتُبُوهُ , tulislah!. Akan tetapi tuntutan ini tidaklah tegas dengan indikasi (qorinah) ayat setelah yaitu
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.
Kombinasi ayat di atas kemudian melahirkan hukum sunnah. Sekali lagi karena adanya indikasi menurunkan grade tuntutan tegas (jazim/hatm) kepada tidak tegas (ghair jazim)
Tuntutan syari’ untuk meninggalkan suatu perbuatan juga di bagi dua; tahrim jika dinyatakan dengan tegas. Yang mana apabila perbuatan tersebut tetap di kerjakan akan mendapat dosa dan siksa. Berikut beberapa redaksi ayat yang menunjukkan tahrim.
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ )
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
Dua ayat diatas dinyatakan dengan tegas, ayat pertama menggunakan redaksi وَحَرَّمَ , yang artinya mengharamkan. Sedangkan ayat kedua menggunakan redaksi nahi (larangan). Kedua redaksi diatas dalam kajian ilmu ushul merupakan redaksi larangan dengan tegas dan juga tidak temukan indikasi yang dapat mengalihkan kepada makna lainnya.
Bagian kedua adalah karohah (makruh). Makruh sendiri adalah tuntutan syari’ untuk meninggalkan tapi dengan tidak tegas. Hukum taklifi karohah bisa di ketahui dengan beberap ciri diantaranya: menggunakan redaksi كره atau yang sejenis dengannya misalnya
ابغض الحلال الى الله تعالى الطلاق
Perkara halal yangbpalingbdi benci oleh Allah adalah talak.
Bisa juga menggunakan redaksi nahi (larangan) dengan di sertai qorinah (indikasi) yang mengalihkan pada hukum makruh.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَسْـَٔلُوا۟ عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu
Larangan di atas di alihkan dari haram menjadi makruh oleh ayat yang mengiringinya
وَإِن تَسْـَٔلُوا۟ عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا ٱللَّهُ عَنْهَا ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Terakhir adalah ibahah (mubah) apabila syari’ menyerahkan kepada hambanya apakah mau mengerjakan atau tidak. Artinya, terserah kita mau atau tidak. Sehingga tidak ada akibat apapun yang ditimbulkannya.
Hukum taklif yang terakhir ini bisa di indentifikasi dengan berbagai cara, salah satunya adalah ayat atau hadisnya menggunakan redaksi halal atau ibahah sebagai contoh
اليوم أحل لكم الطيبات
Pada hari ini saya halalkan bagi kalian yang baik baik
Atau bisa juga dengan redaksi raf’ al-istmi (tidak dosa), la junaha (tidak dosa) atau semacamnya.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Sebenarnya mubah ini “tidak layak” untuk di golongkan sebagai hukum taklifi. Kita tahu bahwa taklif sendiri adalah pembebanan. Sedangkan mubah tidak ada tuntutan sama sekali, ia hanya sekedar pembebasan pilihan antara melakukan dan meninggalkan.
Ulama’ ushul memang sudah menyadari akan hal ini. Namun mereka tetap memasukkannya kepada hukum taklif dengan alasan taghlib (kebanyakan/mayoritas). Sebagaimana di jelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily dalam kitab ushul fiqhnya
وادخال المباح في الحكم التكلفي هو من باب التغليب لانه لاتكليف بالمباح حتى يدخل في الحكم التكليفي على سبيل الحقيقة اذ التكليف طلب ما فيه كلفة ومشقة ولا شيئ من ذالك في المباح وقد يكون سبب هذا التغليب هو ان كثيرا من الافعال المباحات جائت بصيغة الطلب
Memasukkan mubah ke dalam hukum taklifi hanya karena taglib karena dalam mubah tidak ada pembebanan hukum hingga masuk dalam hukum taklifi secara hakikat. Karena taklif menuntut sesuatu yang mengandung kepayahan dan kesulitan. Dan hal itu tidak di temukan dalam mubah. Adapun penyebab taglib di sini bahwa banyak perbuatan perbuatn mubah di jelaskan dengan sighat thalab (tuntutan).
Dengan demikian, hukum taklifi semuanya ada lima macam: tuntutan untuk melakukan ada dua bagian: wajib dan sunnah, tuntutan untuk meninggalkan perbuatan juga ada dua: haram dan makruh dan terakhir perbuatan yang di beri pilihan hanya ada satu bagian yaitu mubah
Demikian penjelasan sekelumit tentang hukum taklifi. Semoga bermanfaat!
*AQS, Alumnus Ma’had Aly Nurul Jadid