Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering di hadapkan dengan berbagai ragam transaksi yang di dalamnya melibatkan berbagai akad. Entah itu akad jual beli, pemindahan hutang, pinjaman, sewa-menyewa, titipan dan lain sebagainya.
Tapi pernahkan kita berpikir bahwa transaksi (akad) yang kita lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariah? Apakah rukun-rukun dari akad tersebut sudah terpenuhi, bagaimana pula dengan syarat-syaratnya? Apa saja macam-macamnya? Nah! Jika belum, tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Definisi Akad

Secara kebahasaan, kata ‘Aqad merupakan bentuk masdar dari kata ‘aqoda-ya’qidu, yang bermakna mengikat, sambungan dan janji. Lalu apa maksud lebih jelas dari ketiga makna tersebut? Ketiga makna di atas memiliki keterkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, misalnya saya berjanji maka sebenarnya saya sedang menyambung ikatan dalam sebuah janji.

Syekh Wahbah Zuhaily, seorang pakar fikih dari Syiria membagi definisi akad menjadi dua; umum dan khusus.
Adapun makna umum, kata Syekh Wahbah Zuhaily, lebih dekat dengan makna lughawi dan lebih umum menurut ulama’ maliki, syafi’i dan hambali, yaitu

فهو: كل ما عزم المرء على فعله، سواء صدر بإرادة منفردة

Artinya: Akad adalah setiap sesuatu yang bila seseorang berencana untuk melakukannya, baik itu muncul dari kehendak satu orang
Sedangkan yang khusus para ulama’ fikih mendefinisikan, akad itu sebagai

إرتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله

Artinya: Pertalian ijab (menyatakan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan” (Zuhaily: 1990)

Apabila si Zaid berkata kepada Umar, “saya menjual kitab kepadamu, itu di sebut ijab. kemudian si Umar berkata, “iya, saya beli kitabnya, ” perkataan ini dalam terminologi fikih di namakan qabul, jika sudah demikian, maka si penjual pembeli mempunyai “perikatan” yang mengikat keduanya dalam sebuah transaksi yang bernama jual beli (ba’i).

Perikatan ini dapat mempengaruhi status kitabnya (mabi’), apa itu? yakni perpindahnya kepemilikan kitab ke “tangan” pembeli (mustari) dan uang (tsaman) ke “tangan” penjual (baai’), bagaimana jelas? Oke lanjut!

Tiga Rukun beserta Syaratnya
Setelah membahas definisi (ta’rif), selanjutnya kita masuk ke pembahasan yang tak kalah penting yaitu rukun dan syarat dari akad itu sendiri.

Berdasarkan contoh di atas, ada beberapa komponen penting yang terlibat di dalamnya. seperti Zaid, Umar, kitab, dan ucapan Zaid dan Umar sendiri. Komponen penyusun akad itu di namakan dengan rukun. Zaid dan Umar di sebut dengan ‘Aqid (orang yang ber-akad), sedangkan kitab yang perjualbelikan di namakan ma’qud alaih ( benda yang di jadikan objek akad) terkahir ucapan zaid dan jawaban umar disebut dengan sighat al-aqd (ijab-qobul). Ketiga rukun diatas merupakan pendapat mayoritas ulama’ fikih (jumhur fuqoha’; Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Lain halnya dengan madzab Hanafi, madzab yang di inisiasi oleh Abu Hanifah bin Nu’man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi itu berpendapat bahwa rukun dari akad hanyalah shigat saja sedangkan dua orang yang bertransaksi (al-‘aqidani) dan objek transaksi (ma’qud alaih) hanyalah kelaziman daripada adanya shigat bukan bagian dari rukun.

Oleh karena itu, kata Dr. Alaudin Za’tari, selain sighat bukanlah bagian dari hakikat akad sekalipun adanya akad tersebut “menunggu”adanya keduanya.

Syarat-syarat Akad
sebagaimana rukun, syarat juga memiliki andil besar dalam keabsahan sebuah akad, karena jika dalam sebuah akad tidak memenuhi salah satu syarat maka konsekuensinya adalah tidak sahnya akad tersebut. Untuk lebih memudahkan syarat syarat dalam tulisan ini akan di klasifikasikan sesuai dengan urutan rukun di atas berikut ulasannya:

Syarat ‘Aqid (orang yang ber-akad)
1. Dia harus mutlak tashorrufnya artinya dia harus berakal, baligh, dan cerdas. Oleh karena itu tidak sah akadnya anak kecil dan orang gila.
2. Harus kehendak sendiri, meminjam redaksi kitab taqrirat yaitu adamu ikroh bi ghairi haqqin, tiadanya paksaan dengan tanpa hak (al-kaff:2013)
3. Harus tahu dengan apa yang ia akadi baik sebagai pemilik maupun sebagai wakil.

Syarat Ma’qud Alaih
Syarat dari pada objek akad (ma’qyd alaih) dapat di ringkas menjadi tiga poin;
1. Barangnya harus mutaqawwam (setiap sesuatu yang suci yang bermanfaat menurut syara’) baik itu berupa benda maupun manfaat, barang maupun pelayanan.
2. Ma’qud alaih juga harus di ketahui sifat, kadar dan ukurannya. Kemudian syarat terakhir adalah mampu di serah terimakan (jika akadnya butuh serah terima)
3. harus terlepas dari gharar, riba dan syarat yang fasid (merusak akad). (Za’tari:2010)

Syarat Shigat
Pada dasarnya, pensyariatan shigat sendiri bermula dari konsep tarodhin (saling rela) yang harus ada dalam semua akad, namun kemudian kerelaan tersebut merupakan domain hati, ia tidak dapat di ketahui kecuali melalui indikasi indikasi, ia bersifat samar (khofi). Oleh karena itu kemudian di syaratkan adanya shigat sebagai pengejawantahan dari isi hati si ‘akid.

Apabila ada yang bertanya kenapa harus dengan lafadz, bolehkan dengan indikasi -indikasi lainnya seperti tulisan, isyarat dll. untuk yang satu ini, saya akan menulis tulisan khusus, insyaallah. Oke lanjut!

Wahbah Zuhaily mendefinisikan sighat sebagai

هو الفعل الدال على الرضا بالتعاقد.

Artinya : Pekerjaan yang menunjukkan kerelaan dengan cara ber akad.
Sebagaimana rukun lainnya, sighat, juga mempunyai beberapa syarat diantaranya;

1. Harus jelas pengertiannya,
2. Harus sesuai antara ijab dan qabul
3. Tidak di pisah dengan pembicaraan yang lain.

Syarat syarat diatas merupakan syarat umum. adapun syarat khusus tergantung akad yang digunakan, setiap akad memiliki syarat khusus sebagai contoh akad salam Yang mensyaratkan mabi’nya (barang yang di pesan) tidak oleh dengan api. Hal ini berbeda dengan jual beli yang tidak mensyaratkan demikian. Nah untuk lebih jelasnya silahkan rujuk ke pembahasan masing masing akad.

Bagaimana Akad itu Berakhir?

Para ulama’ fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akadnya mempunyai tenggang waktu
2. Di batalkan oleh pihak yg berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat
3. Salah satu pihak Yang berakad meninggal dunia. Namun ini tidak belaku ke sumua akad.

Demikian pembahasan tentang akad yang lumayan panjang ini, semoga bermanfaat

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?